Sayap yang mengepak
lirih
Putih abu,
Termenung
Suara hutan yang diam dan
heningSuara gaduh langsung menyambutku saat kedua kakiku baru saja menginjak lantai hutan bertanah yang penuh dengan dedaunan kering, yang mana terdengar berbagai macam jenis suara yang berbeda yang datang dari seisi hutan yang luasnya kurang dari satu hektar saja.
Beberapa ekor kelelawar berukuran sedang, terbang rendah di sekitarku dan melintas di depan mataku tanpa rasa takut sama sekali. Aku tak tahu dengan pasti apakah itu kelelawar buah atau pemakan serangga. Sangat sulit mengidentifikasi kelelawar di mana Indonesia memiliki sekitar seribu spesies kelelawar yang tersebar di seluruh pulau. Empat di antaranya nyaris terancam punah. Dan sebagian lainnya terdesak secara serius dikarenakan mengalami perburuan oleh manusia untuk dijadikan hidangan kuliner.
Kelelawar yang paling aku kenal adalah kalong besar pemakan buah yang terakhir kali aku lihat beberapa bulan yang lalu dan kelelawar kecil yang banyak orang Jawa menyebutnya sebagai codot. Sekarang ini, aku tidak sedang ingin mengamati kelelawar yang keberadaanya juga semakin tersudut dan tak sebanyak dulu. Yang sedang ingin aku lihat adalah burung-burung yang kini tengah berkuak dan mengeluarkan berbagai bunyi aneh dan khas tepat di atas kepalaku.
Aku sedang memasuki hutan kecil yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, yang hanya beberapa menit saja aku melangkah kaki di dalamnya, suasana layaknya hutan yang sesungguhnya pun menyergapku. Suara berisik dan begitu kuatnya dari berbagai hewan malam dan burung-burung membuatku sedikit gentar. Kerapatan lantai hutan dan kanopi membuat berbagai macam burung yang suaranya aku dengar begitu riuh, tersamarkan dengan baik.
Tak lama kemudian, aku melihat beberapa ekor burung yang tiba-tiba terbang mendekat dan hinggap di sebuah pohon tepat beberapa meter di depan kepalaku. Keberadaanya begitu menggugah setelah sekian la aku tak melakukan pengamatan burung seperti sekarang ini. Terlebih setelah berbagai spesies burung berukuran besar tak lagi sering aku lihat terbang di atas kepalaku. Melihatnya dari dekat, sangat dekat, membuatku begitu senang.
Yang tengah aku lihat sekarang ini, setelah aku mencari informasinya belakangan adalah kowak malam atau di Eropa lebih dikenal sebagai Black-crowned Night Heron, yang hidup dan tersebar Di Eropa, Jepang, Cina, Taiwan, sampai Jawa, Sulawesi, Filipina, Afrika, dan Amerika Utara, terlebih Kanada.
Burung itu tak terlampau besar tapi sudah cukup mengagumkan untuk memperbandingkan pertemuan sehari-hari yang hanya berupa burung walet, bondol, atau sekedar burung gereja dan madu yang jelas-jelas ukurannya tak seberapa. Aku sendiri begitu senangnya saat burung-burung itu terbang berputar-putar di atas kanopi dan terlihat begitu indah saat beberapa di antaranya hinggap di pucuk-pucuk pohon dan berkuak dengan begitu berisiknya.
Kowak malam memiliki kepala dan mantel hitam. Leher, bagian badan, dan sayap putih dan abu-abu sampai ke paha. Jari-jari kaki sampai ke lutut berwarna kuning serupa jingga. Kakinya yang jenjang dan tubuhnya yang seolah mirip burung lainnya yang terlihat normal. Menjadikan kowak malam terlihat sangat aneh dan terasa tak pas karena burung itu bagai tak memiliki ekor, dan kaki yang terlampau panjang dan paruh atas berwarna hitam dengan ukuran cukup besar menjadikan kowak malam terlihat berbeda. Jauh berbeda dengan dua penghuni lainnya yang ada di hutan ini; cangak abu dan cangak laut yang di Eropa lebih dikenal dengan grey heron dan great-billed heron. Kedua burung ini terlihat nyaris mirip dengan cangak besar atau great egret yang dahulu sangat mudah aku temui di sawah-sawah.
Hal yang membuat kowak malam terlihat aneh adalah karena kesannya yang sangat mirip dengan kalangan bangau yang rata-rata memiliki ukuran tubuh besar dan kaki yang jenjang. Jika cangak abu dan cangak laut terlihat sangat tak asing dengan kakinya yang panjang, yang begitu terasa pas dengan lehernya yang juga panjang. Kowak malam memiliki leher yang rapat, yang dengan kakinya sejenjang itu terlihat seperti burung yang tengah membungkuk atau meringkuk. Memang benar mereka semua masuk dalam satu famili yang sama, yaitu Ardeidae. Tapi bagiku sendiri, perbedaan spesies yang terlihat sangat begitu mencolok dalam morfologi tubuhnya, benar-benar masih menghantui pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SETAPAK: PERJALANAN KAKI
No FicciónSETAPAK: PERJALANAN KAKI menceritakan tentang diriku yang mendambakan lagi berjalan kaki di berbagai macam tempat. Sambil merenungi dunia. Memasuki dunia asing dan baru. Sawah. Pantai. Hutan. Kota. Pinggiran sungai. Gang. Trotoar. Dan lain sebagainy...