HUTAN PINUS

109 7 1
                                    

Seperti kaki
yang melangkah pelan

Cabang jalan memantulkan
waktu

Melangkahkan kedua kaki, melepas lelah di kepala, menyingkirkan rasa muak dan segala kebosanan yang mengendap. Ya, selama hampir beberapa tahun aku menghindari memasuki alam, kini aku menemuinya kembali. Entah sejak kapan aku menghindari sendirian menikmati dan menenangkan diri di tempat-tempat jauh. Mungkin semenjak kota yang ramai dengan manusia tak mampu menekan kesepianku dan rasa keterasinganku yang begitu dalam. Aku pun mulai berhenti menjejakkan kakiku ke alam.

Sore ini, aku membawa buku-buku, dengan kepala yang terlalu banyak berpikir, tiba-tiba saja aku menikmatinya saat pepohonan menjulang begitu tinggi, beberapa ekor dara berterbangan, embusan angin yang menenangkan, bau kayu-kayu, sesekali suara indah dari seekor burung yang tak aku tahu ada di mana. Jatuhan sinar dari cahaya matahari yang indah. Lantai hutan yang berwarna kecokelatan, dengan tanah yang tertutupi oleh dedaunan dan biji-biji kering.

Aku cukup menikmatinya. Walau bagiku sangat kurang. Hutan buatan yang terlampau kecil, ditata begitu rapi, dengan keanekaragaman hayati yang nyaris homogen, tak terlalu membuat hatiku bergejolak. Setidaknya, aku mendapatkan beberapa tempat yang bisa aku gunakan untuk membaca sendirian suatu hari nanti. Ya, rasa-rasanya kini aku akan menikmati kesendirianku. Itu berarti, aku akan mencari banyak tempat yang jauh dari kota untuk sekedar membaca, menulis, merenung, tidur, atau mengamati lanskap dan lingkungan sekitar.

Hal yang paling aku perhatikan saat mengamati jalanan dengan sepeda motor dan memandang ke segala arah adalah di mana aku melihat, burung-burung yang tak nampak di atas padi yang menghampar. Di hutan pinus yang aku masuki, burung-burung pun nyaris lenyap. Dan berbagai macam semak atau rerumputan yang membuat Richard Mabey menulis buku menariknya Weeds, tak banyak tersisa dari lantai hutan yang gersang.

Setidaknya, aku menikmati saat mendongak ke atas. Meluapkan kedua mataku ke kanopi hutan. Dan bergetar aneh saat angin membuat ujung-ujung pohon itu bergoyang dan terkadang saling bersentuhan.

Hanya terdapat satu dua kupu-kupu. Beberapa suara tenggoret. Dan terlalu banyak manusia. Baiklah, tak apa. Aku berjalan, mengamati, membaui, dan melangkahkan kaki-kakiku di jalan setapak yang terbuat dari belahan kayu dan bebatuan yang telah dipecah kecil-kecil.

Sesekali aku kembali memasukkan suara musik instrumental ke telingaku. Membuka buku, membacanya, menikmatinya, kemudian memandang kedua kakiku yang menghitam karena sangat seringnya dipakai untuk berjalan kaki di jalanan saat terik matahari tengah menggila.

Aku tengah membayangkan menjadi Roger Deakin yang sedang berjalan di antara pohon-pohon yang membawanya ke perjalanan kaki yang menarik, yang akhirnya ia tulis dalam Wildwood: A Journey Throught Trees. Atau memoar yang membuatku terkenang dengan masa kecilku, The Man Who Climbs Tress dari James Aldred. Entah kenapa, aku jadi ingin memanjat pepohonan. Aku tak sampai melakukannya. Karena yang aku panjat adalah tangga yang terbuat dari kayu yang juga berasal dari pepohonan, hanya agar aku mudah mencapai sedikit dari bagian tengah pohon yang salah satu baginnya mengarah ke lembah yang sangat hijau, lebat, di mana terdapat pegunungan yang cukup menenangkan.

Aku membawa cukup banyak buku di tasku. Berganti membacanya beberapa kali. Lalu kemudian berjalan, duduk di atas ayunan, dan membuka sebuah buku The Savage God: A Study of Suicide dari A. Alvarez.

Ayunan yang tengah aku duduki membuatku merasa sedikit agak melankolis. Terdapat jejak masa kecil dan sebuah dunia yang seolah bagaikan mengambang. Warna hitam yang memeluk. Perasaan ingin mati dan tiada. Aku meremas buku itu di tanganku. Memandanginya. Dunia yang benar-benar begitu mengundang.

Aku membawa buku Birders karya Mark Cocker beserta teropong kecil, monokular, yang aku selalu bawa ke mana-mana. Aku mengira akan cukup banyak burung yang bisa aku lihat. Walau semua itu hanyalah khayalanku sendiri, harapan kosong yang sudah lama aku tahu, bahwa di hutan homogen, atau hutan-hutan yang berada di ketinggian yang terletak hampir di seluruh pulau. Menyaksikan keanekaragaman berbagai spesies binatang atau hewan sungguhlah mustahil. Lagian tempat ini bukanlah Baluran atau Kebun Raya. Dan harimau yang pernah dilukis Raden Saleh dalam lukisan-lukisannya pun kini sudah punah.

Matahari bersinar semakin terik, dan rasa panasnya tertahan oleh dedaunan dan batang pohon-pohon. Aku bangkit dari tempat dudukku. Melangkahkan kakiku kembali dan menghambur keluar, menyisakan suatu ruang di mana isi kepalaku akan sekedar menjadikan hutan ini sebagai tempatku membaca dan melepas lelah.

SETAPAK: PERJALANAN KAKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang