Air yang bergelombang
Mengamuk dalam luapan anginAku berjalan di sepanjang pantai, menaikkan kedua kaki bergantian di bentangan pasir basah berwarna hitam yang baru saja ombak menelannya, menjadikan pasir bergradasi hitam kaca bekas air asin yang datang dan putih keabu-abuan di tempat yang lidah-lidah ombak tak mampu mencapainya. Lautan nampak bergemuruh hebat, bergulung-gulung, membawa ombak besar bergantian menjadi buih putih keperakkan dan pecah menjadi suara yang begitu bising.
Sesekali aku menatapnya, hamparan luas padang air yang bagai tak berujung, di mana angin menjadikan lautan begitu mengagumkan dilihat sekilas mata. Tapi betapa sepinya segala yang ada di atasnya. Langit berwarna biru abu-abu, begitu kosong dari burung-burung yang terbang mengudara, hanya terdapat awan-awan tipis yang membentang di sepanjang ufuk Barat, tempat matahari memancarkan sinar berwana kuning keemasannya secara terus-menerus.
Di sepanjang pesisir, saat mata memandang ke arah Barat, lanskap seolah berubah menjadi lukisan para Impresionis. Aku bagaikan melihat van Gogh, yang membentangkan kanvasnya tepat di depan perasaanku. Entah kenapa, aku jadi teringat kehidupan para pelukis Impresionis yang digambarkan dengan menawan oleh Soe Roe dalam Private Lives of the Impressionist. Para Impressionis sangat menyukai alam dan mereka sangat sering pergi ke tempat terbuka dari pada studio yang terasa hambar dan kaku. Mereka terkadang berjalan kaki atau menggunakan kereta, entah sendiri, berdua, atau berkelompok. Memasuki pedesaan, hutan, danau, pantai, memandangi laut dengan begitu terpesona, dan mendatangi berbagai tempat yang jauh dari kota untuk mendapatkan kesan, gagasan, dan gelora perasaan yang akan mereka tuangkan di atas kanvas.
Dan sekarang ini, selain aku bagaikan memandang dunia di sekitarku layaknya para pelukis Impressionis. Laut dan sisa air yang diserap oleh pasir di bawah kakiku, mengingatkankanku pada perjalanan kaki Robert Macfarlane dalam The Old Ways: A Journey on Foot. "Keluar dan kami pun berjalan, bertelanjang kaki dan masuk ke dalam dunia kaca. Aku memandang sekilas ke belakang pada pesisir. Suasanya terlihat buram dan berkerlap-kerlip, seperti film wartaberita lama."
Dunia yang ada di sekitarku, berjarak kurang dari dua ayunan kaki memang mirip seperti kaca. Yang mana ombak datang dan pergi membawa atau melempar butiran-butiran pasir yang terbuat dari kikisan koral dan bebatuan, ditambah plastik dunia baru yang diciptakan manusia bercampur menjadi pantai berwarna putih abu-abu. Pasir putih yang ada di bawah kakiku, kemungkinan besar mengandung sekian banyak butiran-butiran plastik yang jika dilihat sekilas, mirip sekali dengan pecahan bebatuan dan koral yang telah menjadi halus dan sangat kecil. Pikiran semacam itu mengingatkanku akan Alan Weisman, dalam Dunia Tanpa Manusia, saat dia tengah berjalan di sepanjang pantai bersama ahli biologi kelautan Richard Tompson. Mereka berdua tengah mencari plastik, atau lebih tepatnya plastik yang telah menjadi terlalu kecil sehingga susah dibedakan oleh mata orang awam. "Tiap genggam pasir, menurut taksirannya, mengandung plastik sekitar 20 persen, dan masing-masing setidaknya terdiri atas 30 pelet."
Di bawah kakiku, pasir yang aku injak, yang aku lihat sekilas ke belakang telah menghasilkan jejak langkah kaki, yang bercampur dengan jejak dari tapak kaki kuda dan cengkraman ban sepeda motor. Inilah yang disebut oleh Robert Macfarlane sebagai perjalanan kaki yang akhirnya membentuk jalan atau setapak. Dan berjalan kaki di atas bentangan pasir mengukirkan tapak kakiku, jejak-jekak dari sebuah perjalanan yang membekas dan bisa ditelusuri hingga ke belakang. Ini jauh berbeda dengan sebuah jalan yang dibangun di atas fondasi air, yang dengan cepatnya menghapus jejak jalur air dari sebuah kapal atau milik seorang perenang. Sama cepatnya saat ombak menghapus jejak kakiku seolah-olah aku tak pernah ada di situ. Namun, ombak yang terlampau besar, bagaikan sebuah jalan buntu, di mana tak seorang pun yang bisa melewati dan mengarungi. Maka terkadang, seperti kita berjalan di daratan atau gang-gang kecil di sebuah kota. Laut pun memiliki batas, tembok, atau gang buntu, di mana jalan pun pada akhirnya terputus. Dan pantai yang ada di sini, adalah gang buntu bagi para peselancar maupun yang ingin berpergian menggunakan kapal.
KAMU SEDANG MEMBACA
SETAPAK: PERJALANAN KAKI
Non-FictionSETAPAK: PERJALANAN KAKI menceritakan tentang diriku yang mendambakan lagi berjalan kaki di berbagai macam tempat. Sambil merenungi dunia. Memasuki dunia asing dan baru. Sawah. Pantai. Hutan. Kota. Pinggiran sungai. Gang. Trotoar. Dan lain sebagainy...