SEMAK

53 5 0
                                    

Kurang dari lima puluh langkah kaki dari kamarku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kurang dari lima puluh langkah kaki dari kamarku. Ada kehidupan yang begitu berjejalan dan sebuah dunia tersendiri yang tak aku mengerti. Atau lebih tepatnya, dunia yang tak dikenal, asing, terabaikan, dan seringkali aku tak pedulikan. Ketidakpedulian sehari-hari yang berujung pada ketidaktahuan yang ekstrem. Seperti halnya sore yang mendung saat ini. Saat aku membuka pintu kamarku. Lalu melangkah. Menuruni undakan. Dan sampai di sebuah pintu lainnya, yang mana sinar matahari memancar jatuh ke lantai. Hanya dua langkah kaki saja, terdapat kehidupan yang berjuang hidup di antara batu-batu.

Udara agak dingin. Aku membawa dua buku, The Book of Leaves dan The Book of Eggs, sambil memandangi dunia kecil tetumbuhan yang begitu dekat tapi juga asing. Dunia para semak dan rerumputan adalah dunia yang nyaris tak dikenal. Begitu juga diriku. Yang sekali lihat dan memandangi sekeliling, langsung saja menyerah.

Ya, aku menyerah. Aku tidak tahu apa-apa. Dan sekarang ini, aku tengah merayakan ketidaktahuanku yang begitu melimpah dan keterlaluan. Untuk mengenali dan mengetahui nama pepohonan saja aku benar-benar butuh perjuangan dan merasakan kesukaran yang begitu tinggi untuk mengidentifikasi. Lalu apa yang terjadi dengan perdu, semak, dan rerumputan?

Itu jauh lebih sulit dan aku, langsung angkat tangan. Di dunia ini, tak banyak orang terpelajar yang bisa mengenali dan membedakan semak dan rumput. Mengetahui nama-namanya saja, miliaran orang berbudaya, berpendidikan tinggi, dan beradaban pun, rasanya akan langsung menyerah sama sepertiku. Kecuali beberapa gelintar orang pedesaan, orang yang tinggal di hutan, mahasiswa dan ahli biologi, yang dihitung pun, jumlahnya tak seberapa.

Lima puluh langkah kaki dari kamarku, ada sebuah dunia tetumbuhan yang begitu hidup dan hijau, yang menjalar, merambat, tumbuh di antara dinding, batu, dan saling berdesakkan, berjuang hidup dan tumbuh. Saat aku melihatnya dari dekat, bagaikan tengah membayangkan The Origin of Species milik Darwin, "Tanaman yang lebih kuat perlahan-lahan akan membunuh tanaman yang lebih lemah."

Di bawah palem waregu atau pohon mangga yang dipangkas, ada banyak tetumbuhan merambat dan yang ukurannya kecil dan sangat pendek. Begitu juga di bawah pohon jambu yang beberapa buahnya terlihat matang atau pohon beringin yang masih kecil dan berjejalan dengan tanaman lainnya, banyak sekali kehidupan di bawahnya. Menyembul dari bebatuan hitam atau terlihat abu-abu. Sebagian besar bagaikan merambat memenuhi dinding batu yang ada di depan mataku.

Berbagai jenis rumput, tanaman yang tingginya hanya beberapa puluh senti saja, lumut-lumut yang menempel di dinding batu, bagaikan menguasai dinding batu yang tingginya sekitar enam meter dan panjangnya kurang lebih seratus meter.

Bagaimana dinding batu yang harusnya tak bisa dipenuhi kehidupan, saat ini, dikerumuni oleh begitu banyaknya kehidupan?

Semuanya akan jelas dari renungan akan asal-usul tanah. Tanpa tanah, nyaris tak akan ada begitu banyak tetumbuhan di sebuah dinding berbatu yang dilapisi semen. Keberadaan tanah di sebuah pusat perkotaan sangatlah langka dan menunjukkan nyaris kematian tanah itu sendiri. Beton, batu, aspal, dan berbagai macam jalan dan bangunan yang menutupi permukaan tanah, menunjukkan betapa manusia tak lagi merasa membutuhkan tanah kecuali hanya sebagai tempat atau ruang untuk mendirikan bangunan dan sedikit tetumbuhan.

SETAPAK: PERJALANAN KAKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang