SETAPAK: PERJALANAN KAKI menceritakan tentang diriku yang mendambakan lagi berjalan kaki di berbagai macam tempat. Sambil merenungi dunia. Memasuki dunia asing dan baru. Sawah. Pantai. Hutan. Kota. Pinggiran sungai. Gang. Trotoar. Dan lain sebagainy...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku kembali merindukan berjalan. Atau keluar dan sekedar menjejakkan kaki entah ke mana. Seperti halnya yang ditulis oleh Nietzsche, "Hanya gagasan-gagasan yang diperoleh dengan berjalan itu memiliki nilai."
Berjalan kaki, rasanya memang cara yang tepat untuk mencari gagasan dan menenangkan diri.
Sudah terlalu lama mengurung diri dan hampir menyerah terhadap kebosananku. Aku pun kini tiba di sebuah tempat. Di sebuah dunia yang terasa salah. Berada di tengah-tengah kota yang begitu panas bak neraka.
Terlebih sudah lama juga aku tak menjejakkan kakiku agak lama di permukaan jalan. Kesalahanku, mungkin, berada di tempat ini saat siang hari yang begitu terik.
Berjalan kaki, di mana pun di kota ini, saat siang bersama matahari tepat di atas kepala. Rasanya tak tertahankan. Bahkan tetumbuhan hijau yang berada di sekelilingku tak banyak membantu. Hanya di awal, tepat di pintu masuk, berjalan kaki masih terasa menyenangkan.
Pepohonan yang besar, dedaunan hujau yang lebat, dan jalan setapak berbatu, aku cukup menikmatinya.
Itu seperti apa yang ditulis oleh Hope Jahren dalam The Lab Girl, "Apakah kamu melihat sesuatu yang hijau? Jika kamu melihatnya, apa yang kamu lihat adalah sedikit dari sesuatu yang tersisa di dunia, yang tak bisa seorang buat."
Apa yang aku lihat sekarang ini adalah kehijauan yang begitu melimpah sehingga membuat cahaya matahari tak terlampau menyakitkan saat mencapai kulitku yang lemah. Hanya saja, seperti yang ditulis Jahren, kehijauan di depan mataku ini hanyalah sedikit dari sisa yang sebagian besarnya sudah tak lagi ada.
Tanpa pepohonan dan tetumbuhan. Kota ini, bahkan dunia ini, akan lebih mirip padang pasir. Sebuah neraka yang sempurna, yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Setelah berjalan sejenak di antara aneka tetumbuhan yang lebat dan mengembuskan angin yang cukup dingin yang menyejukkan tubuhku. Aku pun memutuskan berhenti sejenak saat melihat tumbuhan rambat yang menguasai banyak sekali lahan dan tempat.
Tetumbuhan yang merambah hingga ke atas dan ke bawah. Menutupi banyaknya pepohonan tinggi sehingga menjulang layaknya tugu atau pilar hijau yang begitu mengagumkan.