"Gini deh, Sal, kalau lo penasaran, kenapa nggak lo langsung tanya aja sama dia? Daripada kita nebak-nebak di sini."
"Langsung tanya?" Salma mendongak, wajahnya ragu. "Ogah! Kalaupun gue tanya, dia pasti bakal ngehindar atau malah bilang gue lebay."
Nabila terkekeh. "Ya emang, sih, itu gayanya Kak Rony. Tapi, Kak Sal, kalau bener-bener khawatir, Kak Sal harus cari tahu apa yang dia rasain. Kalau khawatir loh ya."
"Kayanya khawatir sih, nab." sahut Paul.
Salma terdiam lagi. Ia tahu Nabila benar, tapi keberaniannya tidak cukup besar untuk langsung menghadapi Rony. Apalagi, dengan situasi malam ini, di mana ia merasa kehadiran Dimas di dekatnya mungkin adalah salah satu alasan Rony bersikap berbeda.
Paul menepuk bahu Salma. "Jangan terlalu dipikirin, Sal. Gue yakin Rony bakal baik-baik aja. Kalau dia nggak mau cerita, berarti itu caranya buat ngatasin masalahnya sendiri."
Namun, kata-kata Paul tidak benar-benar membuat Salma tenang. Sebaliknya, ia semakin memikirkan semua momen kecil malam itu—pandangan kosong Rony ke layar ponsel, sikap diamnya yang tak biasa, dan ketidakhadirannya di tengah keseruan mereka. Semua itu terasa seperti tanda-tanda yang tidak bisa diabaikan.
Di ruang tamu, Rony tetap duduk di sofa, posisinya tidak berubah sejak awal malam. Ia tetap memegang ponsel, tetapi sekarang hanya menatap layar tanpa benar-benar menggulir apa pun. Telinganya menangkap suara tawa dari teman-temannya, dan sesekali ia mendengar suara Salma dari dapur.
Ia tahu bahwa sikapnya malam ini mungkin terlihat aneh bagi orang-orang di sekitarnya. Tapi ia tidak bisa membantu perasaannya. Melihat Salma dan Dimas begitu dekat sepanjang malam ini membuat dadanya terasa berat. Ia ingin menyalahkan dirinya sendiri—kenapa ia harus merasa seperti ini? Bukankah Salma berhak dekat dengan siapa pun?
Namun, logika itu tidak cukup untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya.
Paul kembali dari dapur dengan membawa mangkuk besar berisi keripik. Ia menaruh mangkuk itu di meja dan menatap Rony dengan pandangan tajam.
"Ron, lo beneran nggak apa-apa?" tanya Paul lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Rony menoleh sekilas, lalu mengangguk. "Udah gue bilang, Pol. Gue cuma capek."
Paul mendesah pelan. Ia tahu Rony tidak akan bicara jika tidak mau. Jadi, ia memutuskan untuk tidak memaksa, meskipun perasaan bahwa ada sesuatu yang salah tidak hilang dari pikirannya.
Rony tetap duduk di sofa, satu tangannya menggenggam ponsel yang sudah dari tadi menjadi pelariannya. Ia sesekali menggulir layar, berpura-pura sibuk membaca sesuatu, padahal pikirannya sama sekali tidak fokus. Suara tawa teman-temannya terdengar semakin riuh, tapi ia tetap tenggelam dalam dunianya sendiri.
Di seberang ruangan, Salma melirik Rony untuk kesekian kalinya. Sikap diam pria itu terus mengganggunya. Dari semua orang yang ada malam itu, hanya Rony yang tidak ikut larut dalam suasana. Meskipun ia tidak tahu persis apa yang sedang terjadi, ada dorongan dalam dirinya untuk terus memperhatikan Rony—mencari tahu apa yang salah.
Tiba-tiba, ponsel Rony bergetar. Layar menyala, menunjukkan nama seorang penelepon. Ia menatap layar itu selama beberapa detik, sebelum akhirnya bangkit dari sofa dan berjalan menuju teras rumah Paul untuk menerima telepon.
Salma memperhatikan langkah Rony dengan saksama. Ia melihat bagaimana pria itu menjauh dari keramaian dengan langkah yang tenang namun tergesa. Mata Salma menyipit, mencoba membaca ekspresi Rony sebelum ia keluar dari pintu. Namun, Rony terlalu cepat menghilang dari pandangan.
Paul, yang baru saja duduk di sebelah Salma sambil membawa segelas minuman, mengikuti arah pandangan Salma. "Kenapa Rony? Tiba-tiba keluar gitu?" tanyanya santai, meskipun nada penasaran tak bisa ia sembunyikan.
![](https://img.wattpad.com/cover/173489957-288-k479493.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Pendek (Salmon story)
Short StoryIni merupakan work kumpulan cerita pendek yang mungkin bisa menarik untuk kalian baca. Tertanda Azaleasyaa