"Baik, kami terima laporannya, dan akan segera kami tindak lanjuti ya, Bu."Petugas yanmas yang menerima laporan itu berkata sambil memberikan senyum kaku yang membuat Ora bergidik.
Sebetulnya si petugas tidak pernah tersenyum kepada mereka yang melaporkan suatu perkara, tetapi karena ada sosok yang sangat dia segani berdiri tak jauh dari pintu sambil menatap tajam, mau tak mau dia pun melakukannya.
"Baik, terima kasih, Pak. Apakah Polres akan segera menangani?" Ora menatap intens.
Si petugas langsung mengangguk cepat. " Tentu saja. Kami harap korban bisa dibawa kemari, kemudian akan langsung kami proses untuk visum dan ...."
"Ehem!"
Deham dari arah pintu membuat si petugas berhenti bicara dan termangu bingung. Apakah barusan dia berbuat kesalahan?
Ora dan Puspa yang bersamanya menoleh perlahan dan melihat petugas lain, yang tadi mereka temui di lorong, sedang menatap tajam ke arah petugas yang menerima laporan mereka.
"Bagaimana kondisi korban? Trauma berat? Masih bisa didatangkan kemari untuk dimintai keterangan dan proses visum, atau harus didatangi di rumah sakit?" tanyanya sambil memberi tatapan teguran kepada petugas yang langsung menyadari kesalahannya. Tidak mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis korban.
Ora mengerjap. Meski matanya yang terlatih langsung menangkap kesan mata keranjang pada pria dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi ini, tetapi menilik nada suaranya yang tegas dan berwibawa, Ora mendapati ketulusan dan empati di situ.
"Korban dalam keadaan sangat trauma, kami belum bisa memaksanya ke rumah sakit karena kami bahkan tidak bisa mendekatinya tanpa membuat dia berteriak-teriak," jawabnya tenang. Tatapannya bertemu dengan tatapan yang sama tajam milik sang perwira, dan tetap terfokus tanpa gentar ataupun berniat mengalihkan pandangan.
Perwira itulah yang justru mengerjap, lalu tersenyum. "Kami akan segera tangani, Ibu ...."
"Deborah Christine SH, saya pengacara yang ditunjuk oleh LBH dan Komnas Perempuan untuk mewakili korban."
"Ah ... Ibu Deborah. Mohon ditunggu sebentar, kami akan siapkan tim untuk mengevakuasi korban ke rumah sakit demi menjalani visum. Saya mohon maaf kalau bertanya, apakah korban sempat mandi?" (Note: korban perkosaan biasanya diharapkan segera melapor dan tidak membersihkan diri agar pihak kepolisian bisa mendapatkan visum sempurna untuk dijadikan bukti, misalnya cairan tubuh, serat, atau jaringan asing, dll)
Puspalah yang menggeleng. "Belum Pak Polisi. Ibu tidak berani bergerak dari pojok ranjang sama sekali. Ibu ...."
Air mata turun di pipi gadis remaja itu, yang langsung dirangkul Ora dengan penuh simpati. Tak diduga, sang perwira mendekat dan memegang bahu Puspa hangat.
"Kita akan menangkap pelakunya, Dik. Ibumu akan menerima keadilan."
Puspa terisak, dan mengangguk. "Terima kasih, Pak."
****
Saat Sang Kapolres bilang kalau polres akan menyiapkan satu tim menangani kasus ibunda Puspa, Ora tidak menyangka kalau beliau sendiri yang turun langsung. Pria tampan dan gagah itu bahkan tidak segan menyupiri Puspa dan dirinya menggunakan mobil dinas.
"Apakah Dik Puspa tertidur?" Tiba-tiba saja AKBP Bayu bertanya.
Ora yang duduk di bagian belakang mobil, melihat sebentar ke arah Puspa yang menyandarkan kepalanya ke jok kursi.
"Ya. Sepertinya dia lelah setelah semalaman tidak tidur," jawabnya.
Bayu melihat dari spion tengah, dan mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)
ChickLitKini tersedia di Gramedia. (Cerita dimulai Februari 2019, selesai April 2021, dihapus 23 Juli 2021 untuk penerbitan) Pernahkah kamu memegang sayap kupu-kupu? Indah, tetapi rapuh dan dengan mudahnya tercabik. Namun, tahukah kamu kalau dengan sayapny...