Fakta baru

14.2K 2.8K 281
                                    


*********

"Bukan hal mudah untuk memancing informasi dari Bu Tatik, karena dia tidak mau membuka mulut. Tapi melihat responsnya pada Doni, jelas anak muda itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa yang menimpa Bu Tatik."

Bayu tercenung mendengar penjelasan Bu Sri, psikolog kepolisian.

"Kalau anak muda itu tidak terkait dengan kejadian Bu Tatik, kenapa dia histeris saat Doni  bicara?" tanyanya.

Bu Sri bertopang dagu sebelum menjawab, "Setelah saya mencoba merunutkan kejadian sebelum dia histeris, saya menarik kesimpulan kalau kalimat Doni yang memicunya. Kemungkinan, ada kalimat serupa yang diucapkan oleh para pelaku."

Bayu mengangguk-angguk. "Jadi begitu. Saking traumatis maka langsung memicu ingatannya, sekuat apa pun dia berusaha menutupi apa yang dia rasa?"

"Benar."

"Kalau begitu, sulit. Kalimat yang diucapkan Doni sepertinya umum, bisa diucapkan siapa saja."

"Itu dia. Tapi saya punya hipotesa, kemungkinan figur Doni memicu ingatan Bu Tatik juga."

"Maksud Ibu, bisa saja pelaku atau salah satu dari mereka ada yang mirip anak itu?"

"Ya. Atau suaranya yang mirip, bisa juga tinggi badan, rambut, atau yang lainnya."

Bayu berpikir selama beberapa saat, lalu bangkit dan meraih jaketnya.

"Saya akan turun langsung ke lokasi, sekarang saya mau ketemu Pak Wakapolres dulu. Kalau ada apa-apa, tolong sampaikan saja ke beliau."

"Baik, Pak."

Sambil berjalan menyusuri lorong Mapolres menuju ke kantor wakilnya, Bayu terus berpikir. Hampir saja dia bertabrakan dengan Pandu yang sedang keluar sambil bicara di ponsel. Pria pendiam itu langsung mengerutkan kening sambil menatap atasannya.

"Mau ketemu saya, Pak?" Pandu bertanya sambil menutupi corong ponselnya.

Bayu langsung mengangguk. "Ya. Lagi apa, Pan? Lagi pacaran yo sampeyan sama Mbak Arini?" tanyanya spontan.

Bibir Pandu langsung menipis. "Sok tahu," lirihnya. "Mari masuk, Pak. Kebetulan ada telepon dari Yemima, katanya Bapak enggak bisa dihubungi?"

"Oh, si badung tho yang nelpon? Kenapa ndak bilang tho, Pan ... Pan. Sini ... mana teleponnya?"

Pandu tersenyum tipis. "Sudah saya matikan, toh dia dengar sendiri kalau Bapak sudah di sini, jadi sebaiknya Bapak telepon balik dia sebelum ngambek."

Mata Bayu membesar. "Whooo ... mbales. Sampeyan mbales, tho? Wokeh, kita perang, Pan."

Dengan gaya tengil Bayu merangsek ke meja Pandu, lalu mengangkat gagang telepon, dan menghubungi nomor Puslabfor. Dinyalakannya pengeras suara, lalu dia duduk di kursi Pandu, membuat wakilnya itu menipiskan bibir sebal dan duduk di depannya. Tak berapa lama, sebuah suara yang akrab terdengar. Yemima, petugas labfor wanita satu-satunya, dan teknisi favorit kedua pria dalam ruangan itu.

"Halo, Pak Kapolres udah di situ?"

"Ya sudah, lah, Mim. So ... kamu dapet apa?"

"Pak Wakapolres juga ada?"

Pandu menghela napas. "Ya. Ada."

"Dih! Pak Wakapolres kenapa matiin telepon aku? Resek!"

"Karena saya tidak mau ponsel saya dipegang oleh Pak Kapolres." Pandu menjawab tenang. Bayu langsung memelotot mendengar jawabannya.

"Pelit," desisnya, yang hanya disahuti Pandu dengan mengangkat bahu.

Sepi sejenak, sebelum tawa petugas forensik kesayangan mereka itu bergema di seluruh ruangan.

Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang