"Napa lo, Rom?"Pemuda bernama Roman menggerakkan dagunya ke arah pasangan yang terlihat sedang bertengkar di meja bar untuk menjawab pertanyaan temannya. Pemuda bertopi.
"Cowok yang lagi berantem sama ceweknya itu kapolres, Sob."
Ferry, si penanya, secara spontan langsung menoleh ke arah yang dimaksud, dan wajahnya memucat begitu saja.
"Kapolres?" ulangnya.
Salah satu temannya yang lain, yang memiliki ekspresi misterius, memperhatikan semua yang ada di situ.
"Memangnya kenapa kalau Kapolres? Kenapa lo jadi pucet gitu?" tanyanya dengan nada sambil lalu.
Teman-temannya yang lain langsung termangu, dan cengengesan salah tingkah.
"Enggak apa-apa sih, El. Eh ... dengar-dengar, kakak lo polisi juga?" Pemuda berkaus polo, Arif, bertanya.
El, atau Noel, pemuda berekspresi misterius menggeleng. "Bukan, cuma kerja di labnya."
"Oh."
Sepi sejenak, lalu Ferry kembali mencuri pandang ke arah pasangan yang lagi-lagi terlihat bertengkar itu.
"Mereka berantem terus ya, dari tadi?"
Roman masih terus mengawasi. "Cewek itu tadi udah dateng duluan, gue belum pernah lihat dia. Kalian?"
Teman-temannya semua menggeleng.
"Emang belum pernah ke sini kayaknya," jawab Arif.
Semua temannya manggut-manggut spontan, entah kenapa. Lalu tiba-tiba, salah satu dari merekaberucap tak sadar, "Mbak Tatik enggak dateng lagi, ya?"
Roman, Ferry, dan Arif, langsung pucat. Terbata Ferry bertanya, "Emang kenapa lo cari Mbak Tatik?"
Rifan, pemuda yang ditanya, mengerucutkan mulutnya. "Gue kangen sama dia, emang kalian enggak? Waitress lain mana ada yang seramah dia? Bohay pula."
Arif tertawa kaku. "Lo masih saingan sama Roman, naksir Mbak Tatik?" godanya untuk menutupi salah tingkah.
"Bukannya lo juga suka sama Bu Tatik?" Noel nyeletuk.
Arif menoleh kaget. "Eh, Bocah! Sok tahu banget, lo!" serunya. Lalu tersadar kalau suaranya pasti terlalu keras karena pasangan yang sedang bertengkar tadi kini melihat ke arah mereka. Panik dia melemparkan pandangan ke arah Roman dan Ferry.
"Ck! Biasa aja, kali!" Noel bergumam, lalu bangkit dan berjalan ke arah bar.
"Lo mau ngapain?" Ferry bertanya cepat.
Noel menatap datar. "Pesen kopi, ngapain lagi?" tanyanya balik dengan nada menyebalkan.
Ferry membulatkan bibir.
Dengan langkah penuh percaya diri, Noel melangkah ke arah bar, dan meletakkan kedua lengannya yang berkulit putih ke atas meja.
"Espresso con panna, Bu Welli. Whipped cream-nya dikasih taburan ini, ya?" Dengan gerakan anggun dia menyerahkan sebuah kantung plastik berisi bubuk warna putih dengan titik-titik kekuningan.
Welli melemparkan senyum geli kepadanya. "Cuma kamu yang panggil saya 'Bu', lho, El," ujarnya.
Pria dan wanita yang ada di meja bar melihat kepada Noel dengan tertarik.
"Itu bubuk apa?" Si pria bertanya.
Noel menoleh dan tersenyum. Manis, tapi menyembunyikan misteri.
"Bukan narkoba, Pak Polisi," jawabnya. "Kalau narkoba, enggak mungkin saya serahkan ke Bu Welli di depan Anda."
Si pria, Bayu, berkedip. Lalu tawa kecil terlepas dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)
ChickLitKini tersedia di Gramedia. (Cerita dimulai Februari 2019, selesai April 2021, dihapus 23 Juli 2021 untuk penerbitan) Pernahkah kamu memegang sayap kupu-kupu? Indah, tetapi rapuh dan dengan mudahnya tercabik. Namun, tahukah kamu kalau dengan sayapny...