********
"Saya yakin Bapak pasti mengerti kalau kami tidak bisa membela Bapak, jika Bapak tidak sepenuhnya jujur pada kami." Deborah Christine Dinata berkata dengan suara tenang.
Berbicara sambil bekerja, tatapan matanya lurus tertuju ke layar komputer, sementara jemarinya menari dengan cepat di kibor. Gagang telepon terjepit di antara telinga dan bahu, ekspresinya begitu fokus meski mengerjakan dua hal sekaligus.
"Benar, kami memang wajib membela mereka yang memerlukan bantuan hukum, tapi bukan yang ingin memanipulasi hukum demi kepentingan mereka," katanya lagi, masih tenang.
Kembali dia mendengarkan lawan bicaranya, sebelum menghentikan gerakan jarinya di kibor, dan memastikan perekam di telepon menyala dengan baik.
"Pak Sitepu, semua telepon masuk dan keluar di kantor ini direkam. Apa Bapak tidak takut saya akan melaporkan Bapak ke polisi karena mengancam saya dan kantor kami?" tanyanya dingin.
Keningnya langsung berkerut, dan dia menjauhkan gagang telepon dari telinga saat lawan bicaranya di sana terdengar membanting telepon. Berat dia menghela napas, lalu meneruskan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda. Sama sekali tidak terlihat terganggu.
"Mbak Ora! Dipanggil Pak Pande." Erika, salah satu staf paralegal memberi tahu.
Ora melambai untuk menjawab, tetapi matanya tetap terpaku ke layar komputer. Lincah, jemarinya mengetik sebentar, sebelum menutup pekerjaannya dan menyambar agenda kumal yang selalu dibawanya ke mana-mana.
"Ada ide kenapa Yang Mulia manggil aku?" tanyanya saat melewati Erika yang menyengir. Sebelah matanya mengedip sebelum mengetuk pintu ruangan sang pimpinan, dan masuk tanpa menunggu jawaban.
Siapa pun tahu kalau Bang Pande, sang ketua LBH ini tidak pernah akur dengan Ora, meski selalu menghargai sikap juniornya yang tegas dan jujur itu. Biasanya ... kalau beliau memanggil Ora melalui orang lain dan bukan dengan berteriak dari ambang pintu ruangannya, pasti ada sesuatu yang gawat, atau Ora sudah melakukan sesuatu yang luar biasa membuatnya marah.
Ruangan Pande Raja Nasution terlihat sumpek dengan berbagai tumpukan berkas kasus yang ditanganinya, sementara di meja kerjanya yang luar biasa berantakan, sang ketua LBH sedang bicara di telepon sambil mengetik dengan dua jari. Saat Ora masuk, dia langsung menunjuk ke kursi di depannya. Patuh, Ora pun duduk di situ.
"Iya, Bang. Suruh aja anak gadis itu pulang, nanti aku suruh orang ke situ. Iya, pengacara betulan, lah. Tak mungkinlah aku suruh pengacara bohong. Iya ... yang terbaik. Sip!"
Pande menaruh gagang telepon di tempatnya, dan mengetik lagi. Setelah yakin dengan tulisannya, dia menghela napas panjang.
"Deborah ...."
"Ya, Bang?"
"Kau cepat pergilah ke daerah Tajurhalang. Temui satu anak gadis dan ibunya. Anak gadis itu tak mau pulang dari kantor Komnas Perempuan kalau belum ada yang mau tangani kasusnya."
Ora mengerjap. "Kasus apa, Bang?"
Pande menatapnya lekat. "Perkosaan."
Ora tertegun.
*********
Rumah itu kecil, tipe 21, belum di renovasi dan kelihatannya sewaktu-waktu bisa rubuh kalau ada angin puting beliung. Namun, gadis remaja bertubuh mungil yang berdiri menunggu di halamannya jelas jauh lebih tegar dibanding bangunan rumah.
Terlihat cerdas dan menguarkan aura kemarahan yang anggun, gadis itu mengangkat wajah dan menatap Ora tajam saat dia mendekat. Membuat Ora merasa terlempar ke masa lalu, dan melihat dirinya sendiri dalam versi lebih muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)
ChickLitKini tersedia di Gramedia. (Cerita dimulai Februari 2019, selesai April 2021, dihapus 23 Juli 2021 untuk penerbitan) Pernahkah kamu memegang sayap kupu-kupu? Indah, tetapi rapuh dan dengan mudahnya tercabik. Namun, tahukah kamu kalau dengan sayapny...