*****
"Maksudnya apa ya, Pak?" Roman bertanya dengan wajah pucat.
"Iya nih, Pak Pol. Kenapa tanya kita di mana? Ya kita lagi main, lah. Memangnya di mana?" Ferry menimpali.
Bayu menatapnya lama, membuat putra pengacara itu gelisah di tempat duduknya. Tiba-tiba dia tersenyum sambil memiringkan kepalanya.
"Kenapa gelisah? Saya ini polisi, boleh kepo kapanpun saya mau. Sekarang ini saya sedang menangani sebuah kasus, dan insting saya bilang kalau kalian bertiga terlibat di dalamnya. Jadi ... di mana kalian pada Jumat malam lalu sekitar jam sepuluh sampai jam dua dini hari berikutnya?"
Ketiga pemuda yang dipandanginya intens terlihat memucat, lalu Arif, putra anggota dewan yang memiliki rupa paling halus di antara mereka berdeham.
"Jumat malam lalu saya pulang ke Jakarta. Saya selalu pulang di akhir minggu, Bapak bisa cek pada keluarga saya," katanya.
Bayu menatapnya lama. "Baik. Saya akan cek ke keluarga kamu. Bagaimana dengan kamu, Topi?" Dia mengalihkan perhatian kepada Ferry.
"Uh ... eh ... saya pulang juga, kebetulan opung saya lagi sakit," jawab Ferry dengan cepat dan ... gugup.
Bayu mengangkat sebelah alisnya. "Tadi katanya lagi main," selanya datar.
Ferry menelan ludah, dan cengengesan gugup. Bayu berdecak, lalu beralih pada Roman. "Kamu?"
Roman tertunduk. "Saya di sini, sampai hampir tutup, lalu pulang," katanya dengan suara hampir tak terdengar.
Bayu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kalian tidak keberatan kalau kami cek alibi kalian?"
Ketiga pemuda terlihat gugup. Dua pemuda kakak beradik dan juga Noel yang tidak tahu apa yang terjadi saling berpandangan.
"Uhm, Pak. Masalah ini enggak melibatkan kami, kan? Boleh kami pergi?" Salah satunya bertanya.
Bayu menoleh dan mengangguk. "Silakan," jawabnya. "Selain Roman, si Topi dan Rambut Belah Pantat ini, yang lain boleh pergi. Kamu juga, Bocah Wafer, silakan pergi."
Desah napas lega mengiringi kedua pemuda yang diizinkan pergi, sementara Noel, yang dipanggil Bocah Wafer, tetap duduk di kursinya.
"Boleh saya tetap di sini untuk riset, Pak?" tanyanya.
Bayu mengerutkan kening, lalu mengangkat bahu tak acuh. "Sakarepmu, lah," jawabnya, lalu kembali berfokus pada ketiga anak muda yang sedang disasarnya.
"Sekarang, saya ulangi pertanyaan saya. Keberatan kalau kami cek alibi kalian?"
"Silakan dicek," kata Roman tiba-tiba dengan nada datar. Kedua temannya menatap dia dengan terkejut.
Bayu mengangkat sebelah alisnya. "Oh, tadi kamu belum bilang ada di mana setelah dari sini, Roman," ujarnya.
"Memang belum. Saya ada di sekitar sini, bertemu dengan seseorang."
"Kalau begitu, kalian bertiga tuliskan kontak orang yang bisa mengkonfirmasi keberadaan kalian, catat di sini." Bayu menyorongkan catatan kecil dan sebatang pulpen.
Ketiga pemuda saling berpandangan, lalu dengan gugup mulai menulis nomor telepon di situ. Saat Roman, yang terakhir menulis sedang menggoreskan pulpennya, Bayu kembali bicara yang membuatnya dan dua temannya langsung tertegun.
"Kalian pasti tahu kalau kami bisa membuktikan kalian berbohong, maka kalian akan berada dalam kesulitan, bukan? Begitu juga kalau kontak yang kalian cantumkan di situ berbohong, mereka juga akan kami jerat dalam tuduhan menghalang-halangi penegakan hukum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)
ChickLitKini tersedia di Gramedia. (Cerita dimulai Februari 2019, selesai April 2021, dihapus 23 Juli 2021 untuk penerbitan) Pernahkah kamu memegang sayap kupu-kupu? Indah, tetapi rapuh dan dengan mudahnya tercabik. Namun, tahukah kamu kalau dengan sayapny...