“Kamu temanin Zahra mempersiapkan pernikahan kalian”
“Maksud kakek?” Gabriel yang sedang memakan sarapannya menjadi menghentikan menyuap nasi goreng kemulutnya.
“Iya temanin Zahra mempersiapkan pernikahan kalian, seperti cari undangan, souvenir, gaun dan foto prawedding” kata kakek dengan antusias.
“Aku? Dia? Foto prawedding? Ogahh, kakek ini apa – apaan sih, apa kata kolega aku dikantor kalo istri penerus Cassanova Group berwajah jelek”
“Sekarang zaman sudah canggih, luka di wajah bisa disamarkan” kata kakek tidak mau kalah.
“Au ah pusing, kalo mau urus, urus saja sendiri, gue sibuk” kata Gabriel kearah Zahra.
“Temanin dia, kakek pemilik perusahaan dan kakek perintahkan kamu menemani dia”
“Selalu mengancam aku dengan materi, kakek kira aku gak bisa tanpa uang kakek” Gabriel semakin emosi ditantang oleh kakek.
“Bisa… kamu pasti bisa, tapi kakek yakin ego kamu tidak akan membiarkan harta milik kamu jatuh ketangan orang lainkan?”
Gabriel termenung mendengar ucapan kakeknya yang 100 % betul itu, dia bukannya gak bisa cari uang sendiri tapi egonya yang tinggi takkan membiarkan dia kalah dari wanita jelek yang sedang duduk santai disebelah kakeknya.
“Lo orang bukan sih, tanpa ekspresi begitu” Gabriel menatap wajah Zahra yang hanya diam dan tanpa ekspresi mendengar cacian dan makian dari Gabriel.
“Terus kamu mau aku apa? Nangis? Sedih? Atau apa”
“Semuanya”
“Semua perasaan itu telah hilang, jadi jangan harap aku akan mengeluarkan tangisan walau separah apapun kamu menyakitiku”
“Aneh… benar – benar aneh, kakek dapat dimana sih wanita seperti ini”
“Bukan kakek tapi…”
“Sudahlah kek, di meja makan jangan membahas hal yang tidak penting, lebih baik kita lanjutkan sarapan kita” Gabriel yang muak dengan Zahra meninggalkan meja makan.
“Aku kenyang, dan lo siap – siap kalo memang mau pergi”
Setelah melihat Gabriel pergi, kakek melihat kearah Zahra “Dia yang membawamu 10 tahun yang lalu”
“Lupakan dan jangan pernah mengungkit masalah itu kek” Zahra membersihkan piring bekas makan Gabriel dan mulai mencucinya.
“Zahra sudah nak letakkan saja disana, pelayan sudah ada dan kamu siap – siap saja untuk pergi dengan Gabriel”
“Cuma sedikit kok kek, lagian aku mau belajar jadi ibu rumah tangga, tidak selamanyakan aku tinggal disini dan dilayani pelayan”
“Iya kakek ngerti”
Zahra memutuskan setelah mereka menikah mereka akan mandiri dan hidup terpisah dari kakek, karena Zahra ingin Gabriel belajar menjadi kepala rumah tangga dan menjadi suami yang lebih bertanggung jawab.
****
Zahra melihat foto usang yang dia simpan disebuah diary. Zahra mengusap penuh kerinduan dengan sosok yang berada difoto itu.
“Kak… sampai kapan aku harus menunggu kakak” airmata menetes dan mengenai foto usang itu.
Tok tok tok
“Non, sudah ditunggu tuan muda di bawah” Zahra mendengar Maryam berteriak memanggilku
“Iya sebentar”
Zahra mengambil tas dan ponselnya, dia melangkah dengan tegap menyusul pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
“Terima kasih” ucap Zahra ketika Maryam memasangkan jaketnya.
“Maryam”
“Ya Nona… tolong kamar aku dibersihkan dan buku yang ada di atas meja dibakar saja”
“Baik nona”
Gabriel yang ingin mengambil ponsel yang tertinggal mendengar pembicaraan dua wanita itu dan dia penasaran buku apa yang hendak dibakar oleh Zahra.
“Gue harus mengambil buku itu”
Setelah memastikan Zahra turun, Gabriel memanggil Maryam dan menyuruhnya mengambil segelas air. Ketika Maryam diyakininya sudah pergi dengan buru – buru dia masuk ke kamar Zahra dan melihat sebuah buku dan langsung mengambilnya.
“Buku apa ini sampai lo gembok dan lo mau bakar” Gabriel dengan sigap mengambil buku lain untuk menggantikan buku yang dia ambil dan segera keluar dari kamar Zahra.
“Ini tuan muda minumnya” Maryam menyerahkan segelas air
“Kamu minum saja, saya gak jadi haus” Gabriel masuk ke kamarnya dan menyimpan buku itu di lemarinya.
“Nanti akan gue baca”
****
Masih dengan wajah kesal karena harus menemani wanita yang dibencinya seharian,Gabriel sengaja melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Zahra yang masih trauma dengan kecelakaan yang membuat dirinya cacat hanya bisa diam membisu dan hanya keringat dingin yang keluar dari dahinya.
“Ga..Gabriel, tolong jangan terlalu kencang” Zahra memegang pegangan di sampingnya dan bersuara dengan gemetaran.
“Wahhh ternyata ini ya kelemahan lo” bukannya memperlambat tapi malah mempercepat laju mobil yang dikendarainnya.
“Please… berhenti” karena ketakutan Zahra memohon supaya mobil yang dikemudikan Gabriel di hentikan.
“Loh bukannya kita mau…”
“Berhenti atau aku loncat”
Gabriel yang melihat Zahra membuka pintu, menjadi panik dan menghentikan mobilnya dengan menekan rem dengan kuat.
“Gila lo ya, kalo kita mati gimana”
“Kakak….” Gabriel melihat bayangan wanita muda memanggilnya.
“Argggggg” Gabriel memegang kepalanya yang terasa sakit
“Kamu kenapa” tanya Zahra
“Kakak…..” dan lagi bayangan itu kembali muncul.
“Gabriel, kamu kenapa sih” Zahra yang ketakutan melihat Gabriel kesakitan, mengguncang – guncangkan badan Gabriel.
“Sakittttt obattttt tolong ambilkan obat di sakuku” katanya masih meringis menahan sakit yang mendera kepalanya.
Zahra sibuk mencari obat yang diletakkan Gabriel di celananya. Zahra semakin panik melihat air mata keluar dari matanya Gabriel. Apa sesakit itu sampai dia mengeluarkan air mata.
“Ini obatnya…” Zahra mengambil botol minuman dan memberi obat itu kepada Gabriel.
“AKu saja yang bawa mobilnya, kita pulang saja, kapan – kapan saja perginya”
“Tidak!!!! Kita pergi sekarang, gue tidak mau kakek ngerecoki lagi”
“Tapi kamu sedang sakit”
“Sudah tidak apa – apa, jangan sok kuatir” Gabriel kembali melajukan mobilnya dan kali ini dengan kecepatan biasa. Dihatinya selalu bertanya siapa wanita yang memanggilnya kakak dan kenapa kepalanya selalu sakit ketika berusaha mengingat siapa wanita itu.
“Itu aku…” kata Zahra dalam hati.
****
tbc