thirteen : amor vincit omnia

130K 17.5K 1.5K
                                    


love conquers all

_______________________


Aku memutar setir mobilku, sehingga sebuah rumah yang dinding luarnya berlapis kayu itu terlihat. Rumah tempatku tinggal berada di sebuah komplek perumahan yang –entah bagaimana ceritanya – dihuni oleh sebagian besar dokter senior di kota ini. Aku curiga jangan-jangan pihak marketing perumahan ini dulu memang memasarkan daerah ini di saat pertemuan IDI.

Rumahku meski terlihat homey dari luar, tapi isinya sama sekali tidak membuatku betah di rumah. Rasa nyaman seperti apa yang kamu harapkan dari sebuah rumah besar berpenghuni lima orang –termasuk ART dan driver- yang jarang bercengkerama satu sama lain? Kalau sikap protesku di awal masuk kedokteran cukup menampar kedua orang tuaku dan akhirnya membuat Mamaku melepas jabatannya di rumah sakit, tapi itu tidak sampai membuat Papaku menjadi lebih sering berada di rumah.

Ketika aku memarkirkan mobil di garasi, aku hanya melirik ruang kosong yang seharusnya terisi mobil Papaku. Sudah biasa, paling ngisi seminar lagi. Padahal weekend nih!

Maka aku pun juga sudah mempersiapkan diri untuk disambut dengan keheningan ketika aku membuka pintu. Tetapi suara riang Mamaku justru terdengar dari ruang tengah, membuat langkahku terhenti.

"Taya, liat sini Taya! Nah ... liat ini Oma Lia, ini baby Taya. O – ma ... ya? Oooo ... maaa ..."

Aku bersandar di lemari buku memperhatikan Mamaku yang bersikeras mendoktrin anak bayi tidak berdosa itu. Di hadapannya, Taya tengah duduk di baby chair sambil memamah finger food entah apa, dan menatap Mamaku ingin tahu dengan kedua bola matanya yang bulat itu.

"Mam." Ucapnya.

"Iya, Taya lagi makan, enak ya? Ini Oma yang buat ... besok Oma buatkan lagi ya anak cantik?"

Mendengar itu, Taya tersenyum lebar, memamerkan giginya yang mulai tumbuh satu-persatu. Tidak bisa menahan rasa gemasku, aku akhirnya mendatangi mereka sambil tersenyum pula. Aku mengecup puncak kepala Attaya, dan ketika melihatku, sekali lagi ia mengucapkan kata 'mam' sambil menunjukkan makanan di tangannya.

"Iya ... Taya pinter ... makan yang banyak ya!" ia meresponku dengan berceloteh tanpa arti.

"Gantian nyulik dia dari daycare, Ma?" tanyaku setelah duduk di sebelah Mama.

"Nggak, Papanya tadi bawa dia ke sini."

"Oh ya? Orangnya mana sekarang?"

"Lagi pergi. Sebentar lagi juga balik paling." Aku mengangguk-anggukkan kepala.

"Seneng banget kayaknya, Ma?"

"Iya nih, kamu bujuk Reno bawa anaknya ke sini tiap hari dong, biar rame rumah ini. Bosen Mama setiap hari ketemunya kamu terus. Atau sekalian, Reno juga dibujuk tinggal di sini setiap hari."

Aku mengernyitkan dahiku,

"Bercanda atau serius nih?"

"Kamu maunya Mama bercanda atau serius?"

Aku tidak menjawab, hanya mendengus tertawa mendengar pertanyaan jebakan Mama ini. Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu ...

"Oh iya Ma, jadi kemarin ceritanya Kak Ian pulang kan ... dia ngeluh sakit kepala gitu. Terus aku anter Kak Ian periksa ke dokter Pramudyo. Intinya setelah CTA, hasilnya Kak Ian ada AVM sama aneurisme di otak."

Mamaku terdiam, ia menatap Attaya, tetapi tatapannya itu kosong. Sebuah tanda ketika otak Mama sedang bekerja dan menganalisa sesuatu.

"Kiano sekarang di mana?" tanya Mamaku akhirnya.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang