five : crescit eundo

151K 17.6K 839
                                    

it grows as it goes

____________________

____________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KIANO

__________________________________


Namanya Kiano. Aku panggil dia Ian.

Hanya karena aku ingin berbeda dari yang lainnya, cuma aku yang boleh memanggilnya seperti itu, Kak Ian.

Aku pertama kali bertemu dengan dia di rumah duka, maksudnya ... dia saat itu sedang berduka, dan aku beserta keluargaku ke rumahnya. Ibunya yang baru saja meninggal itu teman lama Mama Papa, so it's kind of reunite thing. Umurku baru dua belas tahun saat itu, umurnya empat belas tahun, seusia dengan kakakku, Ilyas.

Di saat orang satu rumahnya sedang berwajah muram dan bersedih di satu ruangan menatap jenazah untuk terakhir kali, Kak Ian berada di luar rumah, bermain basket sendirian. Kakakku yang sudah hampir mati kebosanan saat itu tentu saja lebih memilih keluar dan mengajaknya bermain salah satu olah raga favoritnya. Sedangkan aku? Mengekor saja.

Sejak saat itu, kami bertiga tidak terpisahkan.

Kemudian satu minggu kemudian -agar lebih dekat dan dapat diasuh oleh ayahnya- Kak Ian pindah ke sekolah yang sama dengan kakakku, sekolahku juga. Aku masih anak kelas satu baru saat itu, anak baru lulus SD yang masih polos dan target empuk perundungan kakak-kakak kelas. Jadi, di minggu keduaku bersekolah di situ, tanpa alasan yang jelas, kakak-kakak kelas perempuan sok cantik, haus drama dan korban sinetron ini menarikku ke gang belakang sekolah.

Mereka menahan kedua lenganku, menarik kerah bajuku dan bertanya padaku dengan nada sok gaul yang lebih mirip dengan orang keracunan lem Aibon itu,

"Kenapa elo deket-deket Ilyas sama Kiano setiap hari? Lo ngaca dong, udah pendek, jelek, dada kek papan gilesan, pede banget lagi deketin dua cowok ganteng di sekolah. Lo kalo emang kegatelan mangkal aja dong sana di perempatan, jual diri aja lo!"

Ingin sekali aku memutar bola mataku saat itu dan berteriak, 'yaiyalah, yang satu idup serumah sama gue setiap hari, yang satunya tiap minggu nginep juga di rumah, gimana ga deket ...'. Tapi sadar justru fisikku yang dibawa-bawa, aku geram bukan main.

"Iya gue emang pendek, dada gue rata ya karena gue masih belum tumbuh kali, mens aja belom. Lo pada belom pernah baca tentang hormon pertumbuhan sih! Lagian ini namanya muka polosan, bukan dempulan kek kalian, mau sekolah apa ngelenong coba?"

Tentu saja itu jawaban yang sangat salah untuk diucapkan, jawaban fatal berhadiah bogem mentah di wajahku. Bukannya menangis, aku justru semakin menegakkan kepala, menantang mereka. Karena Ilyas selalu mengajariku untuk menjadi anak yang pemberani menghadapi 'penjahat'. Meskipun sebenarnya orang yang benar-benar berani 'jahat' kepadaku hanya Ilyas seorang, saking jahilnya.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang