I didn't meet her. Aku melihatnya tapi tidak menemuinya. Tiga hari berlalu tanpa keberanian. Setiap harinya aku mengutuk diri, mengingatkan diri sendiri bahwa menghindari Wendy merupakan hal terbodoh yang kulakukan. Jika Jackson tahu ia pasti akan menertawaiku—atau bahkan menghajarku.
Ketika Sabtu datang, aku mulai mempertanyakan keadaan psikologiku. It was a sunny day dan kuharap aku bisa membahas Wendy dengan seseorang. Which was why i called Joy five minutes ago.
Joy dan Wendy berada dalam satu lingkar yang sama semasa High School dan berdasarkan penglihatanku, keduanya bersama dua hari lalu. Yang berarti Joy dan Wendy masih berteman dalam lingkar yang sama. Kuharap aku tak salah. Lagipula, mengobrol dengan Joy tentang Wendy adalah pilihan aman. Joy tahu semuanya. Tentangku dan tentang Wendy. She was my girlfriend and Wendy's bestfriend when the tragedy happened. Jadi, tak heran jika ia tahu lebih dalam tentang kejadian itu, Wendy mungkin menceritakan bagiannya.
Aku meraih kunciku dan membuka pintu kemudi mobil. Kukatakan pada Joy aku akan menjemputnya dan kemudian bicara. Joy tidak menolak. Sudah lama ia dan aku tidak bicara di luar berdua. Jikalau bukan karena Wendy, aku mungkin tidak akan melalukan hal ini.
Beberapa menit kemudian aku menemukan diriku berada di halaman rumah Joy. Rasanya aneh berada di tempat yang biasanya merupakan keseharianku, kini bukan lagi pengisi hariku. Joy dan aku berkencan selama hampir lima bulan sebelum akhirnya aku memutuskan hubungan kami seminggu setelah tragedi itu. Pada dasarnya, fokusku pada Joy menghilang setelah kejadian itu. Wendy menggantikan Joy dengan mudahnya. Aku tidak bisa menyakiti Joy, she deserves better. Jadi, aku mengakhiri hubungan kami.
Kini, berdiri di depan pintu rumah Joy, aku mempertanyakan keputusanku. Apakah membicarakan Wendy dengan Joy adalah keputusan yang benar? Is this going to hurt her? Will she understand? Benakku penuh dengan keraguan.
Namun, sesuatu yang tidak kupikirkan terjadi: Mrs. Park membukakan pintu. Well, now it's awkward. Aku benar-benar tidak memperkirakan kehadiran orangtua Joy setelah hubungan kami berakhir.
"Mark! Son!" sapa Mrs. Park seraya memelukku. Aku membalas pelukannya kaku sambil balik menyapanya. "Sudah lama sekali tidak melihatmu! Ayo, masuk!"
Aku ingin menolak, sungguh. Tapi, wanita di depanku adalah Mrs. Park, ibu dari mantan kekasihku dan meskipun aku dan Joy sudah tidak bersama, aku tidak ingin memberikan kesan buruk pada keluarga Joy. We broke up in a good way dan kuharap aku dan Joy tetap mempertahankan hubungan pertemanan kami.
"Joy's upstairs, di kamarnya. Kau mau menunggunya di sini atau menyusul ke atas?" tanya Mrs. Park ketika ia berhenti menuntunku ke ruang tengah. Paling tidak sejauh ini aku tidak melihat Mr. Park.
Aku menggeleng cepat. "Aku tunggu di sini saja, ma'am," jawabku. Tidak ada alasan untuk menyusul Joy ke kamarnya. That would be inappropriate.
Mrs. Park mengangguk. "Well, kalau begitu kau bisa menemaniku."
Dan di sinilah aku dan beberapa menit ke depannya, menjadi pendengar yang baik untuk Mrs. Park. Ia menceritakan berbagai hal: mulai dari keluhannya pada anjing tetangga yang selalu membuang kotoran di halamannya hingga tips meracik teh kesenangannya. Aku tidak keberatan. Mendengarkan Mrs. Park mengalihkan pikiranku dari Wendy dan berbagai pertanyaan sekitar Wendy yang akan kulontarkan nanti. Untuk saat ini, aku menikmati waktuku dengan Mrs. Park.
Joy turun beberapa menit kemudian, terlihat luar biasa dengan penampilannya. Ia menyapaku sejenak sebelum akhirnya beralih pada ibunya. "Aku pergi sebentar, beritahu Ayah jika ia pulang."
Mrs. Park mengangguk, lalu menuntun kami ke luar pintu. "Hati-hati Joy," katanya melihat Joy memasuki mobil. Dan padaku, ia berkata, "Perlalukan Joy dengan baik Mark," yang mendapat anggukan pasti dariku.

KAMU SEDANG MEMBACA
HER [got7; redvelvet]
FanfictionIt takes one moment to create tragedy, And yet, It takes thousand of moments to forget it. Peringatan konten; not recommended for children.