"Joy, then. She's the fittest one to be your girlfriend,"
So, mereka semua menyimpulkan hal yang sama. Jackson dan Jae Bum menempati sofa di kamarku, sementara dua orang lainnya—temanku dari tim football—menempati kasurku. Di sisi lain, aku memilih untuk menempati kursi di depan komputer.
Jae Bum mengangguk setuju. "I'm thinking the same girl. Now that we all know Wendy's taken, Joy adalah pilihan terakhirmu, Mark."
Kalau aku harus membuat daftar kelebihan Joy, maka kelebihan pertama Joy adalah kecantikannya. Atau dalam kamusku: cantik seksi. Dan Joy tahu itu. Kemudian, Joy juga tidak buruk dalam seks—i've slept with her twice, and it was good. Permasalahannya adalah Joy terlalu keras kepala dan emosional. Gadis itu bisa saja kujadikan pacar namun hal berikutnya yang kutahu ia akan memaksaku mengikuti rutinitas kecantikannya. I'm not one to do that.
"Kau mempertimbangkan Wendy?" tanya Jackson terkejut.
Di sisi lain, aku tidak mempermasalahkannya. Heck, Wendy berada di top listku seandainya gadis itu bukan milik seseorang.
"Tentu saja. The tension between them is on fire," jawab Jae Bum, mengarahkan kepalanya kepadaku. Kemudian pada Jackson, "Kau tidak berpikir seperti itu?"
"Aku mungkin setuju denganmu jika saja aku tidak tahu kalau Wendy membenci Mark."
"Wendy tidak membenciku," kataku cepat. Entah hal seperti apa yang membuat Jackson yakin bahwa Wendy membenciku. Sure, we argue a lot. Tapi kemudian, aku tahu bahwa Wendy masih meresponku. Fakta bahwa kami masih bicara—Wendy bahkan datang ke pesta Jae Bum karena permintaanku!—seharusnya bisa menghapus semua pikiran bahwa Wendy membenciku.
"Sure. Apapun yang membuatmu tidur nyenyak malam ini, Mark," balas Jackson sarkastik. "Tapi, Jae Bum, kalaupun mereka berkencan, kau hanya bisa mengharapkan keduanya bertenggar setiap harinya."
Jae Bum tertawa. "Dude, pertengkaran mereka hanya omong kosong! Kau pernah melihat keduanya berada di ruang yang sama? Sendirian?"
"Jae Bum, apa yang kau harapkan? Kau pikir keduanya akan mencuri kesempatan ketika tidak ada yang melihat? Kau gila!" Jackson tertawa kencang.
"Their eyes are on fire!" Jae Bum menepuk bahu Jackson keras. "Ayolah Jackson, you don't have to kiss or have sex with someone to know you like her!"
"Oh ya! Tentu saja! Tanyakan saja pada bosnya. Hey, Mark, kau menyukai Wendy?"
Crazy bastard, itulah mereka. Jackson dan Jae Bum membicarakanku seakan-akan aku tidak berada di ruangan kemudian ketika keduanya menemukan jalan buntu, mereka menanyakan pendapatku. Asshole, pikirku. Ingatkan aku mengapa aku memilih untuk berteman dengan keduanya.
Aku tertawa hambar. "Both of you can go to hell." Tanpa menunggu jawabanku, Jackson dan Jae Bum kembali berargumen. Mengenal keduanya, aku tahu aku tidak bisa mengandalkan keduanya soal perempuan. Like i said, Jackson and Jae Bum can go to hell.
Membaringkan tubuhku di atas kasur, aku mendapat komplain dari dua temanku lainnya, Brain dan Tren, yang tidak kuhiraukan. Aku tahu aku bisa mengandalkan Brain dan Tren jika Jackson dan Jae Bum tidak memberikanku solusi. Dan jika Brain dan Tren masih tidak bisa memberikan solusi—damn everyone, why is it so hard to get a girlfriend? —maka keduanya bisa menyusul Jackson dan Jae Bum. Setidaknya Brain dan Tren tidak menyebut nama Wendy, Joy, atau siapapun yang berkaitan dengan keduanya.
"Tapi, Mark," Jackson menyela obrolanku dengan Brain dan Tren. "Kenapa tiba-tiba kau ingin berkencan?"
"Kemungkinan besar karena ia tahu Wendy sudah bukan miliknya," sela Jae Bum.
Jackson mengangkat lengannya. "Shut up, Jae Bum."
Aku ingin mengelak, tapi sayangnya separuh dari diriku sadar bahwa berita tentang Wendy adalah salah satu alasan mengapa aku ingin berkencan. Aku butuh seseorang yang bisa mengalihkan pikiranku dari Wendy. Jae Bum mungkin berpikir bahwa aku cemburu dan meledekku tentang hal yang sama sampai ia bosan, tapi, Jae Bum tidak tahu bahwa aku tidak cemburu.
Aku merasa bersalah. Dan menyesal.
Aku menghela napas. "Jae Bum mengencani Irene. Kenapa aku tidak boleh ingin berkencan?"
"Hate to tell you, Mark, tapi aku mengencani gadis yang ingin kukencani. Not like you," sela Jae Bum.
Kali ini, aku tidak bisa mengelak. Aku bahkan tidak tahu siapa yang ingin kukencani, and yet aku menanyakan saran mereka semua. Is it really me who want to date someone or them?
"Damn, right." Jackson mengangguk. "Kenapa Mark? Kau lebih suka seks daripada perempuan."
Aku melempar bantal di kasurku ke arah Jackson. Asshole. "Alasanku berkencan tidak ada hubungannya dengan seks."
"Sure, Mark. Lalu apa yang membuatmu ingin berkencan?" Jackson menatap Jae Bum cepat. "Berhenti menyebut nama Wendy atau kuhabiskan kau!" ancamnya sebelum Jae Bum bisa mengatakan sesuatu.
Aku menggeleng. Separuh karena aku heran dengan sikap Jackson dan Jae Bum. Sementara Brain dan Tren tidak berkomentar, aku tahu keduanya memikirkan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku menggeleng karena aku tidak tahu jawaban sepenuhnya untuk pertanyaan Jackson.
Mungkin jujur merupakan pilihan akhirku. "Will you believe me if i told you i feel guilty about Wendy?"
"Kau menyebut Wendy!" Jae Bum menepuk tangannya. Kemudian ia menendang tubuh Jackson perlahan. Tingkahnya persisi seperti anak kecil yang baru saja memenangkan sesuatu. Di sisi lain, aku melihat Jackson memasang wajah kesal. Aura-aura fuck-you-Mark terpancar dari tubuhnya. Beberapa detik kemudian, ketika Jae Bum selesai menunjukkan kemenangannya, Jackson menatapku. "Kau bercanda, Mark?!"
I wish i was kidding. Sayangnya, buruk untukku—dan Jackson—aku tidak bercanda. "Nah, man. Kupikir aku bisa bercumbu dengan Wendy dengan terus-menerus menanyakan hal yang sama. Tapi ketika aku tahu ia mempunya seseorang spesial, i feel guilty."
"Kenapa kau harus menyesal, Mark? Kau benar-benar tidak masuk akal," ujar Jackson kesal.
Belum sempat aku menjawab, Jae Bum mendahuluiku. "Berhenti menjadi bajingan yang tidak bisa menghargai perempuan, Jackson. Kau benar-benar terlihat buruk."
Jackson menggerutu kesal sementara aku, Jae Bum, Brain, dan Tren tertawa melihat respon Jackson. Ia memang temanku, tapi jika ia terus bersikap seperti itu—like a jerk who treat women like a trash—ia bisa hidup dan mati sendirian, tanpa pasangan.
"For starter, Jackson, aku tidak akan menyesal jika Wendy tidak memiliki pasangan. It's a fair game if she's single," kataku menjelaskan. "But she's not. I should have respected her answer when she said no. Wendy menolakku merupakan hal normal yang harus kuhargai. I wouldn't want her to have sex with me when she has a fucking boyfriend."
Di sisi lain, Jackson, hanya mengangguk menanggapiku. Aku ragu ia paham apa yang kubicarakan. Lagipula, di luar paham atau tidaknya Jackson, aku tidak mungkin mengencani Wendy. Tidak akan terjadi dalam waktu dekat dan di masa depan.
Setidaknya itulah yang kuperkirakan.
*
Note: edited. (040620)
KAMU SEDANG MEMBACA
HER [got7; redvelvet]
Fiksi PenggemarIt takes one moment to create tragedy, And yet, It takes thousand of moments to forget it. Peringatan konten; not recommended for children.