"Hey, Mark,"
Aku menoleh, menemukan Joy dan Irene memasuki dapur Jae Bum. "Irene, Joy," sapaku mengakui keberadaan keduanya. "Apa yang kalian lakukan di sini? Last i know, pestanya tidak diadakan di dapur."
Irene tertawa kecil. "Aku bisa menanyakan hal yang sama, Mark."
"Aku sedang tidak mood berpesta," jawabku tanpa menunggu pertanyaan Irene. "Tidak ada yang tertarik berpesta di dapur, jadi kukira aku bisa menikmati kesendirian di sini."
Mataku memperhatikan Irene dan Joy bergantian. Keduanya terlihat luar biasa bukanlah hal baru. Irene dengan dress merah selutut membuatnya terlihat menonjol di tengah redupnya lampu ruangan. Sementara di sisi lain, Joy dengan tight jeans dan blouse cokelat yang tidak menutupi garis bahunya membuatnya terlihat casual tapi juga sexy. Fun fact: keduanya tahu apa yang membuat paras mereka terlihat sempurna.
"Damn, Jae Bum tidak menyimpan cemilan sehat?" tanya Joy tiba-tiba. Tangannya menggenggam pintu kulkas.
Aku mengangkat bahu. "Aku tidak tahu," jawabku. "Lagipula, ini pesta. People are supposed to get drunk."
"You're not drunk."
"Belum," kataku membenarkan Joy. "Aku bahkan belum memulai malamku, Joy." Aku tiba di tempat Jae Bum dua puluh menit yang lalu, tidak bersemangat melihat penuhnya tempat pesta. Beralih pada Irene, aku berkata, "Kau melihat Jae Bum? Sepertinya ia mencarimu."
Alis Irene terangkat. "Jae Bum mencariku? Untuk apa?"
"Tidak tahu," kataku jujur. Aku berbohong sebelumnya, Jae Bum tidak mencari Irene. Aku hanya berusaha menciptakan momen untuk keduanya. "Kau bisa tanyakan sendiri."
Tanpa merespon, Irene pergi meninggalkanku dan Joy di dapur. Aku yang belum tertarik bergabung dengan keramaian memilih untuk tinggal, tidak peduli semenyebalkannya Joy.
"Tersisa dua bulan sebelum kelulusan, bagaimana persiapanmu, Mark?" tanya Joy membuka pembicaraan. "Sudah ada berita dari universitas?"
"Oh, kau tahu, masih menunggu." Lebih tepatnya, aku hanya menunggu jawaban dari St. Lawrence. Tidak terlalu tertarik dengan universitas lain yang menjadi pilihanku. "Pengumuman masih tiga minggu lagi, Joy. Kau tidak perlu terburu-buru mengusirku dari High School."
"Kuharap aku bisa mengusirmu, Mark," gurau Joy. "Kau dan teman-temanmu yang sama menyebalkannya."
"Shit, apakah Wendy mempengaruhimu, Joy? Kupikir hanya Wendy yang membenciku dan yang lainnya."
"Wendy tidak peduli dengan hidup kalian."
Aku tertawa. "Tell me about it. Apakah ia masih perawan, Joy?"
Joy memasang wajah terkejut yang dibuat-buat sebelum akhirnya kembali tak peduli. "Kau bisa menanyakan itu langsung pada Wendy. Aku yakin ia dengan senang hati memberikanmu jawaban."
"Dan hinaan," tambahku. Sure, aku bisa bertanya. Aku juga bisa mendapatkan jawaban. Tapi, Wendy adalah Wendy, tidak mungkin ia memberikan jawaban tanpa menghinaku. Ia bahkan menuduhku berusaha memperkosanya—that girl is sick. "Bicara soal Wendy, apakah ia datang?"
Joy tertawa kecil. "Aku terkejut kau bertanya, Mark," katanya yang membuatku semakin bertanya-tanya. "Wendy bilang kau menyuruh kita semua datang."
"She did?" tanyaku tidak percaya.
Sejujurnya, aku tidak terkejut. Wendy memang tajam—tatapan, perkataan, sikap, dan sebagainya. Ia juga loyal, baik dalam pertemanan maupun perkataan. Yang membuatku terkejut adalah ia memenuhi keinginanku. Well, Wendy mungkin berpikiran hal yang berbeda—tebakanku Wendy tidak ingin menghalangi kesempatan Irene dalam membentuk hubungan dengan Jae Bum—tapi intinya: ia mengikuti perkataanku. Ini merupakan hal baru.
Joy mengangguk membenarkan pertanyaanku. "Kau menyuruhnya datang, Mark. Kau seharusnya menemuinya."
"Kau tidak perlu khawatir, Joy," kataku memasang senyum kau-tahu-aku. "Aku akan menemuinya," dan pergi dari dapur.
*
Aku menemui Wendy di ruang tengah, mengobrol dengan sekelompok orang yang tidak kukenal. Salah satu alasan mengapa aku tidak bersemangat dengan pesta Jae Bum: ia mengundang siapa pun. Bahkan mereka yang tidak pernah kutemui.
Menyelinap ke dalam pembicaraan, aku melingkarkan tanganku di bahu Wendy. "Apa yang kalian bicarakan?"
"Bukan urusanmu," jawab Wendy sambil menyingkirkan tanganku.
Membenarkan posisi tubuh, aku berusaha menunjukkan ketertarikanku dalam pembicaraan mereka. Dan memang benar, beberapa menit kemudian aku tenggelam dalam topik pembicaraan mereka. Ringan, beberapa terdengar seperti gosip yang bertebaran dari mulut ke mulut, tapi bermutu. Sesekali aku memotong, sekedar bertanya siapa yang mereka maksud atau apa yang terjadi. Kesimpulannya pun, sebagian besar mereka membicarakan hal-hal yang belum pernah kudengar.
Wendy, di sisi lain, terlihat dapat menyimak dengan mudah. Kalau pun gadis itu kesulitan, maka ia berhasil menyembunyikan ketidaktahuannya dengan sangat baik.
Kurang lebih setengah jam kemudian Wendy menarik diri dari tempatnya. Aku mengikutinya, sekadar penasaran ke mana gadis itu akan pergi. Aku juga ingin tahu apa yang akan ia lakukan. Pembicaraan sebelumnya menimbulkan rasa ingin tahu lebih dalam tentang Wendy.
Tapi, ketika aku menemukan diriku kembali di dapur, aku menggumam kecewa dalam hati. Kupikir aku bisa menemukan sesuatu yang ekstra, bukan menonton Wendy memimum air mineral.
"Apa yang kau lakukan, Mark? Mengikutiku?" tanya Wendy setelah menghabiskan minumnya.
Aku menghela napas. "Aku berusaha menghibur diri. Pembicaraan tadi cukup menghibur, kupikir kau bisa menyediakan hal lain yang lebih menghibur."
"Go away, Mark."
Kali ini aku tertawa. "Kau tahu, Wendy, aku tidak berpikir kau akan datang."
"Oh ya? Kau lupa dengan perkataanmu?"
Sambil menyeringai, aku menjawab, "Oh aku ingat. Aku hanya tidak mengira kau akan mengikutinya. I'm suprised."
"Terserahmu, Mark. Now, go away."
Sambil tertawa kecil, aku melakukan gerakan siap-boss sebelum akhirnya keluar dari dapur. Sudah cukup menghibur diri dengan Wendy. Berlama-lama dengan gadis itu hanya akan dipenuhi dengan ledekan atau. Sekali saja sudah cukup. Dan untuk hiburan berikutnya, aku bisa memulai dari alkohol.
*
Note: edited. (300520)
KAMU SEDANG MEMBACA
HER [got7; redvelvet]
FanfictionIt takes one moment to create tragedy, And yet, It takes thousand of moments to forget it. Peringatan konten; not recommended for children.