Present, 07

96 6 0
                                    

My goals: live a normal life.

Langkah pertama: menjalani hariku seperti biasanya tanpa pikiran tambahan mengenai hal-yang-tidak-boleh-kupikirkan. Kedua, tidak berada di kampus ketika aku tidak memiliki jadwal kuliah. Ketiga, hangout dengan yang lainnya di manapun dan kapan pun ketika jadwalku kosong. Dan yang terpenting: mengurangi isi pikiran.

Banyak hal yang bisa kulakukan, sendiri dan bersama yang lain, jadi aku positif bahwa aku mampu kembali normal.

Keluar dari kelas, mataku menyapu sekelilingku. Beberapa temanku dari kelas yang sama menyapa selagi aku mencari Jackson atau Jae Bum. Akan lebih normal jika aku menemukan keduanya bersama, seperti masa-masa High School, meskipun kemungkinannya kecil mengingat jadwal kelas yang kami ambil sangat berbeda. Kalaupun keduanya tidak bersama, kuharap aku tetap bisa menemukan salah satu dari mereka. Aku butuh pengalih.

Beberapa menit ke depan kulalui dengan mengitari kampus. Terkadang berhenti untuk sekedar menghubungi Jackson atau Jae Bum. Aku tahu Jackson tidak ada kelas tapi berada di kampus—kemungkinan besar menunggu kelas berikutnya—sementara keberadaan Jae Bum tidak bisa diduga. Sejauh ini, aku tahu apa yang membuatku bisa merasa normal dan tidak normal. Wendy adalah alasan terbesar ketidaknormalanku. Tapi kemudian gadis itu ingin merasa normal. Jadi, Wendy juga bisa menjadi alasan terbesarku kenapa aku ingin merasa normal.

It all come back to her. It's so crazy.

"Jae Bum!" seruku menemuinya di lapangan parkir. Kakiku tanpa ragu berjalan cepat ke arahnya. He's not alone though. Mataku menatap sosok lain berdiri beberapa langkah dari tempatnya.

Jae Bum menatapku dengan alis terangkat. "You ok?"

Aku mengangguk. "Fine. Kau lihat Jackson?"

"Dia tidak ke kampus. Tapi, jika kau ingin bertemu dengannya, kau bisa ikut aku. Jackson bersama yang lainnya."

Kali ini giliranku mengangkat alis mata. "Yang lain?" Aku tidak yakin aku mengenal siapa yang Jae Bum maksud dengan yang lainnya.

Jae Bum menganggukkan kepalanya ke suatu arah, seolah-olah memberikanku arahan dengan kepalanya. Mengikuti arahannya, aku merasakan jantungku berdegup lebih kencang. Berdiri beberapa langkah dari tempatku adalah Yeri, gadis itu tengah mengobrol dengan beberapa gadis lain yang tidak kukenal. Mahasiswa baru, tebakku.

"Aku menunggu Yeri. Irene memintaku untuk menjemput Yeri," jelas Jae Bum. "Kau bisa ikut jika kau mau."

Tentu saja aku bisa ikut. Tapi, apakah aku ingin ikut? Sebagian dari diriku berusaha untuk mengendalikan detakkan jantungku yang tidak terkenali. Bukan Yeri penyebabnya, tapi fakta bahwa Wendy mungkin berada di sana—menjadi bagian dari 'yang lainnya'. Meski begitu, sebagian dariku juga berpendapat bahwa kesempatan ini merupakan kesempatan yang bagus untuk menjadi normal. Tepatnya untuk kembali normal.

Mengalihkan pandangan, aku memaksakan senyum. "Sure. Where are we going?"

Jadi di sinilah aku, menunggu bom yang mungkin mengacaukan keinginanku untuk kembali normal. Sejujurnya, mudah saja mengabaikan semua masalahku jika Wendy tidak kembali. Terkadang, menatap wajah gadis itu membawa memori-memori yang tidak ingin kuingat.

"Aku tidak mengira kau akan bergabung, Mark," ucap Joy ketika melihatku menjatuhkan diri di samping Jackson sementara Jae Bum memilih untuk duduk di samping Irene.

Aku memasang senyum kecil. "Surprise."

"Tunggu sampai Wendy datang, aku baru akan terkejut," kata Joy menantangku. "Come to think about it, kau tidak melihat Wendy, Yeri?"

HER [got7; redvelvet]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang