Present, 09

84 9 1
                                    

I'm running. Well, tidak benar-benar berlari. Aku menyembunyikan diri dari siapa pun yang sedang mencariku. Fuck people.

Alasanku? Fuck if i knew. Kutemukan diriku sesekali menatap layar ponsel yang mengedip di atas kasur dan menemukan nama Jackson terpajang di layar. Aku bersembunyi—batinku lagi—untuk alasan yang tidak kuketahui pastinya. Di satu sisi, aku tahu alasanku melarikan diri dari dunia sosial. Namun, di sisi lain, aku tidak yakin hal tersebut merupakan alasan yang sebenarnya. Pikiranku buntu. Again, for uncertain reason, batinku.

It was Wendy, salah satu alasan yang membuatku kacau dan menolak panggilan Jackson. Aku tahu mereka, Jackson dan yang lainnya, menunggu jawabanku untuk pesta malam ini. Dan, sedihnya, aku tahu jawabanku. It was easy to make a decision, but it was hard to tell them.

Pada akhirnya, tepat dipanggilan ketujuh belas, tanganku meraih ponsel dan menerima panggilan Jackson. Kemudian, tepat ketika Jackson berteriak dan mulai memarahiku, aku menyadari kekacauan yang kualami. All the emotions are hitting me, all at once.

Dan untuk yang kesekian kalinya, aku mengutuk diriku. "Shit," kataku menyuarakannya..

"...Hey Mark! Kau dengar aku tidak?!"

Yes, aku mendengarkan semua keluh-kesah Jackson.

"You, asshole, are you putting me on speaker?!"

No, semua keluh-kesah Jackson tepat berdering di samping telingaku.

"Dude, jawab aku!" teriak Jackson untuk yang kesekian kalinya. "Kalau tidak datang katakan tidak. Kenapa harus menjawab telepon tapi tidak mengatakan apapun!"

That's because i could say something stupid if i said something, jawabku dalam hati. Fakta bahwa aku tidak berani mengatakan sesuatu menunjukkan betapa kacaunya pikiran dan fisikku. Fuck fuck fuck.

"Aku lelah," jawabku akhirnya. Kemudian menambahkan dalam pikiranku: physically and emotionally.

Sejujurnya, aku tidak tahu apakah Jackson bisa menerima 'pesan' di dalam perkataanku. Bagaimana pun, it was hard to make him understand you. Tapi, jika aku boleh berharap, kuharap Jackson menerima pesanku. Untuk suatu alasan, aku ingin Jackson mengerti perkataanku dan membantuku—entah bagaimana caranya.

Namun, ketika panggilan terputus tanpa jawaban dari Jackson, aku tahu aku hanya menambah kekesalannya. Kuletakkan ponsel sembarang di atas kasur sambil menghela nafas panjang. Sesuatu seperti membisikkanku bahwa kekacauanku tidak akan berhenti ketika berganti hari. And indeed, i could only prepare for the worst.

Maksudku, jika aku bisa melalui hari ini, untuk alasan apa aku tidak bisa melalui hari-hari berikutnya?

*

It'll be easy. Tentunya jika yang terburuk sudah dilewati, permasalahan berikutnya akan mudah dihadapi. Setidaknya, itulah yang kudengar.

Tapi, ketika tiga hari berlalu dan aku masih belum bisa menghubungi Jackson ataupun Jae Bum, i got stressed out. Apakah ini artinya pertemanan kami akan berakhir? Kenapa aku tidak bisa menghubungi keduanya? Bahkan aku tidak berhasil menemui keduanya di rumah mereka. What the hell is wrong with people?

Atau tepatnya, what the hell is wrong with me?

Alasan demi alasan coba kuciptakan untuk menyelesaikan kekacauan yang kubuat. Kalimat seperti 'sorry, aku benar-benar brengsek malam itu' atau 'i'm not on the right mind, aku minta maaf' merupakan kalimat terbaikku meskipun aku tidak bisa menjelaskan sifat menyebalkanku malam itu. Setelah semua yang muncul dalam benakku, pada akhirnya aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada mereka.

HER [got7; redvelvet]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang