"Mark takut dengan Wendy," sahut Jackson. "Bisa kupastikan seratus persen!"
Irene yang duduk di samping Jae Bum tertawa ketus mendengarnya. "Kau bercanda? Penilaianmu tentang Wendy terlalu berlebihan, Jackson."
"Why? She's scary."
Kali ini aku tertawa kecil, jemariku spontan mengarah pada Jackson. "Bukan aku yang takut dengan Wendy, it's you, dead-ass," responku disusul dengan tawa yang lainnya. Aku tidak menangkap respon Jackson setelahnya. Jackson is a good friend, tapi bukan suatu keanehan lagi jika ia sering kali menyampaikan hal-hal bodoh. Tanganku meraba saku celana mencari ponselku
11:58 PM.
Satu jam lebih berlalu sejak terakhir kali aku melihat Wendy, Joy, dan Seulgi. Kupikir ketiganya menghabiskan waktu bersama tapi ketika mataku menatap Joy dan Seulgi berada di kerumunan lainnya, aku tidak bisa menahan diri untuk menanyakan keberadaan Wendy. Anehnya, no one seem to notice that Wendy is missing.
We've been talking, tentang ini dan itu—Wendy salah satu topiknya—tetapi tidak ada yang menanyakan keberadaannya. I guess, everyone know she's fine, right? Beberapa menit kemudian, mataku menangkap seseorang—aku tidak bisa melihat wajahnya, lampu tempat kami berkumpul terlalu redup—berjalan ke arah kami. Di lihat dari posturnya, kutebak ia perempuan. Heck, i thought she was Wendy.
"Aku ingin pulang," katanya tanpa menyebut nama. Tanpa diberitahupun aku tahu ia bukan Wendy. "Does any of you care to give me a ride?"
"Mark bisa mengantarmu."
That's not me speaking, pikirku. "Apa?" sahutku cepat.
Kulihat Jae Bum menghela napas. "Yes, you. Kau antar Joy pulang."
Joy? So that was Joy, i'm not surprise: Wendy tidak pernah pulang lebih awal. Biasanya, mereka yang memberikan Wendy tumpanganlah yang mencari-cari keberadaan gadis itu sebelum mereka pulang.
"Di mana Wendy?" tanya Irene dari tempatnya.
"Outside," jawab Joy. "On the phone, obviously."
Mulutku hendak menanyakan siapa ketika sesuatu menggetuk ingatanku dan menahan diri: She's taken. Kemungkinan besar Wendy sedang bicara dengan kekasihnya. Kekasih misteriusnya.
"So, Mark," panggil Joy mengalihkan perhatianku. "Kau jadi mengantarku atau tidak?"
Sejujurnya, aku juga sudah mulai bosan dengan suasana pesta, sebagian besar dari mereka yang bertahan di pesta tidak kukenal. Jadi, ketika Jae Bum mengusulkanku mengantar Joy, aku tidak akan menolak. Lagipula, berdua dengan Joy di mobilku bisa memberikanku poin jika aku ingin mengencaninya. Which is one of the thing that i've been thinking.
"Sure, let me get my keys."
Membangkitkan diri dari posisiku, tanganku meraih kunci mobil yang tergeletak tidak jauh dari tempatku. Jae Bum dan Jackson mengangkat alis matanya ketika mata kami bertemu—suatu tradisi sederhana ketika salah satu dari kami tidak ingin bergerak—tanpa mengantarku ke depan. Joy mengikutiku di belakang, firasatku mengatakan suasana hati Joy tidak baik.
She's unpredictable, sometimes so unpredictable that everyone arround her is going crazy because of her. Kuharap aku tidak perlu dibebankan dengan suasana hatinya.
"You guys are heading back?" tanya seseorang yang menghentikan langkahku.
Belum sempat aku melirik pemilik suara, Joy sudah menjawab. "Yup. Kau ingin tumpangan? Mark's driving."
Aku—being me—tidak tertarik dengan ucapan Joy melirik lawan bicara gadis itu: It was Wendy.
"Are you sober, Mark?" tanya Wendy.
Tanpa sadar, aku menemukan diriku tertawa. Wendy benar-benar Wendy dengan semua kehati-hatiannya. "Seratus persen tidak mabuk. Aku tidak menyetuh alkohol malam ini, Wendy."
"Then, i'm going with you," katanya cepat. Kemudian, seakan-akan mengetahui posisinya ia menambahkan, "if it's okay with you."
Aku tahu harusnya aku merasa terganggu—tapi untuk suatu alasan, aku tidak menolak jika Wendy memang ingin tumpangan. Di lain sisi, kupikir aku bisa mulai mengambil poin dengan Joy setelah aku mengantar Wendy. Tidak ada alasan untuk menolak, 'kan?
*
Life is such a joke.
Pada akhirnya, Joy dengan sifatnya yang tidak bisa ditebak membuatku harus mengantarnya lebih dulu. She was in a bad—really bad—mood that she let Wendy sit in the front, dan bersikap seperti seorang penumpang di kursi belakang tanpa mengajakku bicara. Wendy, sama buruknya, tidak mengatakan apapun melainkan terus melirik Joy dari tempatnya.
Setidaknya ketika mobilku berhenti di depan rumah Joy dan gadis itu keluar mobil tanpa mengatakan apa pun, Wendy memulai percakapan.
"Apa yang salah dengannya?" tanya Wendy mengamati Joy dari dalam mobil.
Aku mengangkat bahu, kemudian tersadar bahwa Wendy tidak memperhatikan. "Hell if i know. Dia tidak bersamaku dan yang lainnya selama di pesta."
Kali ini Wendy menatapku. "She's not?"
Aku mengangguk sambil kembali mengemudikan mobil. "Kau terdengar terkejut, kenapa?"
"She's the one who drag me to this party, kupikir dia ingin berkumpul bersama atau semacamnya," jawab Wendy. "It surprises me that she wasn't arround."
"You were not arroud, too."
Wendy tertawa kecil. "Aku sedang tidak ingin berada di keramaian."
Sedikit mengherankan mengingat reputasi Wendy yang—dare i say—cukup besar. "Kenapa?" tanyaku hati-hati.
"Tidak ada alasan," jawabnya.
Untuk suatu alasan, aku tahu Wendy tidak akan memberitahu alasannya. It's like saying: kita tidak dekat, jangan bertanya. So, i don't ask any further. Tapi, untuk suatu alasan, aku tidak ingin menghentikan pembicaraan kami. Aku tahu Wendy tidak membenciku, dan terlibat dalam suatu percakapan tanpa harus menyerang satu sama lain bukanlah suatu hal baru antara aku dan Wendy. We've done talking, hanya saja satu yang lebih sering terlihat adalah pertingkaian kami.
And so i ask her other things.
Aku bertanya, ia menjawab.Terkadang ia bertanya, aku menjawab. Dan seterusnya.
*
Noted: edited. (080620)
KAMU SEDANG MEMBACA
HER [got7; redvelvet]
Fiksi PenggemarIt takes one moment to create tragedy, And yet, It takes thousand of moments to forget it. Peringatan konten; not recommended for children.