-2-

2K 255 10
                                    

Krist berbalik menghadap Singto, "Apa kau mau melihat kamarmu?"

Mereka berjalan melewati pekarangan belakang menuju kamar Singto karena dia sudah bersedia untuk menjadi bodyguard Krist dia diminta untuk tinggal di mansion pribadi presiden jadi dia bisa melindungi Krist kapan saja.

"Kita sampai." Krist melihat Singto.

Sekarang mereka berada di depan rumah kecil privat di pekarangan yang menghadap kolam renang tidak sama dengan rumah utama yang ditempati Krist.

"Ayo masuk." Krist menarik tangan Singto.

Rumah kecil privat ini didesain minimalis mempunyai dua lantai. Lantai pertama ruang tamu dan dapur, sedangkan lantai kedua ada ruang tidur yang tidak ada pintu dan meja ditengahnya juga satu kamar mandi.

"Suka tidak?"

"Suka." Singto meletakkan bawaanya di lantai.

"Aku tau tidak begitu besar tapi setidaknya kau bisa punya privasi untuk dirimu sendiri." Krist tersenyum ke Singto.

"Erm. Berapa umurmu, Koon-Chai?"

Krist manyun, "Jangan panggil Aku dengan Koon-Chai, aku tidak suka."

"Oh. Maaf. Kalau begitu mau dipanggil apa?"

"Krist. Cukup Krist tanpa embel-embel Koon-Chai dan Aku 17tahun."

"Masih sekolah? Tahun kedua?"

"Yup. Oh iya. Poh menyuruhku memberimu ini." Krist memberi lembaran kertas ke Singto yang dimana itu jadwal Krist.

Singto membaca jadwalnya, "Jadi Aku libur hari sabtu dan minggu?"

"Tergantung. Kalau Aku tidak membutuhkanmu, kau tidak perlu mengikutiku."

.
.

Sepasang mata coklat melihat apa yang Singto kerjakan daritadi, bukan hanya itu tapi semua pelayan wanita juga sedang melihat badan kekar Singto yang cukup atletis itu dan jangan lupa otot yang membuat wanita tergila-gila.

Setelah mengecek semua tempat di mansion pribadi Presiden. Singto mulai bekerja dengan mengganti semua kaca jendela menjadi kaca anti peluru, dia bekerja hanya megenakan singlet hitam. Ya, wajar saja pemandangan yang sangat bagus seperti itu dilewatkan.

Krist melihat tajam pelayan-pelayan wanita yang masih berbisik membicarakan Singto, "Apakah kalian tidak punya pekerjaan untuk dikerjakan hah?!" secara langsung mereka bubar.

"P'Sing, sini biar aku bantu." Krist setengah lari menghampiri Singto.

Singto terdiam sebentar, "P'Sing?"

"Iya, Sini biar aku bantu." kata Krist, dia mengambil bor dan mulai membuat bentuk jendela dari kayu seperti yang dikerjakan Singto, setelah itu dia juga memaku.

"Apakah ini benar?" Krist dengan senyum gemasnya.

Singto hanya terpatung melihat senyum Krist, "Erm.. benar kok."

.
.

"Khun-Singto, bisa aku berbicara sebentar denganmu?" Namtan memanggil Singto yang baru saja menemani Krist makan malam.

Namtan bibinya Krist dari pihak Ibunya, setelah Ibu Kandung Krist meninggal, Namtan tinggal bersama Krist di mansion pribadi Presiden ini. Bukan Krist tidak suka tapi terkadang Namtan bertindak seolah ingin mengganti posisi Ibunya dalam mengatur semuanya yang itu sama sekali tidak mungkin.

Namtan menarik Singto keruangan kerja supaya Krist tidak mendengar pembicaraan mereka.

"Kita dapat kiriman ancaman lagi untuk Krist." Namtan memberikan 'barang bukti' ke Singto.

"Siapa yang menerima ini dan dimana?" Singto mengambil barang bukti dan melihatnya secara seksama.

"Pelayan di kotak surat pagi ini. Tolong untuk jangan bilang ini pada Krist. Dia akan takut nanti."

Singto melihat Namtan bingung, "Maksudnya.. Krist tidak pernah tau soal ini?"

Namtan menghela nafas, "Seperti ini lebih baik karena yang ia butuhkan perlindungan, dia tidak perlu tahu semua hal-hal ini. Kami tidak mau dia takut jadi kami merahasiakan semua hal ini."

Namtan mengambil tangan Singto dan memegangnya erat, "Janji padaku untuk melindunginya ya."

Tiba-tiba pintu terbuka, "P'Sing, kau kemana.." Krist berhenti bicara ketika melihat bibinya bersama Singto berpegangan tangan diruangan kerja yang gelap.

Krist berjalan dengan cepat kearah Singto, melepas tautan tangan mereka berdua yaang membuat tangan Singto yang tadi dipegang Namtan lepas tidak lupa dengan cepat Namtan menyimpan cepat 'barang bukti' ke kantongnya.

"Kenapa Krist?" Singto bertanya padanya tapi Krist hanya menatap tajam bibinya Namtan cemberut.

"Apa kau mengantuk?" Singto bertanya tapi Krist masih diam dan meninggalkan merdeka berdua.

"H-hei.. Krist.. Krist.." Singto mencoba untuk memanggil tapi Krist tetap berjalan mengabaikannya.

Singto balik menghadap Namtan, "Maaf tapi Aku harus mengejarnya. Terima kasih untuk informasinya." membungkukkan badan, mengejar Krist.

Namtan menggingit bibir bawahnya, dia tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa melihat Singto dari jauh.

.
.

Krist berjalan dengan cepat dan mengabaikan Singto yang memanggilnya.

"Tunggu. Jangan jalan cepat-cepat." Singto menggapai lengan Krist.

"Lepaskan Aku." Krist menarik lengannya.

"Kenapa kau tidak lindungi dia saja!" Krist menunjukkan wajah kesal.

"Hah? Dengar. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Bibimu. Dia hanya mau membicarakan sesuatu tentangmu. Hanya itu." Singto tidak percaya dia bisa membicarakan hal seperti ini terlebih lagi ke Krist.

Krist memberikan wajah yang aku-tidak-akan-percaya-yang-kau-katakan.

Singto hanya menghela nafas. Ini hari pertama dia bekerja tapi dia sudah menghadapi masalah, melihat jam sekilas, "Ini sudah jam 10.. kau harus tidur, besok mau sekolah."

Krist lanjut mengabaikan Singto menuju ke kamarnya.

.
.

Singto mengecek semua jendela yang ada di kamar Krist sampai bahkan dibawah tempat tidurnya. Memastikan semua aman untuk Krist tidur dengan nyaman.

Krist keluar dengan pajamanya WeBareBears menunggu Singto melakukan pekerjaannya.

Singto membuka sedikit selimut, membuat signal untuk Krist berbaring.

"Suka atau tidak aku menemanimu disini untuk memastikan kau aman." Singto duduk dipinggiran ranjang kingsize-nya Krist membelakanginya.

"......."

"Aku tidak melakukan apapun dengan bibimu." Singto tidak mengerti mengapa dia ingin Krist percaya.

"Phi disini untuk melindungi Aku bukan Dia, perhatikan Aku bukan Dia!" Krist suaranya parau.

Singto tersenyum mendengar suara Krist setidaknya dia mau berbicara dengannya.

"Apalagi sekarang? Phi mengabaikan Aku padahal Aku sudah mau bicara!"

Singto berbalik menghadap Krist.

"Kalau Phi tidak mau melindungimu atau tidak memperhatikanmu, Phi pasti sudah meninggalkanmu dan pergi dengan Bibimu yang cantik itu. Tapi apa sekarang Phi disinikan? Denganmu."

"Dia tidak cantik." Krist cemberut tidak mau menghadap Singto.

Singto tersenyum kecil, duduk disebelah Krist yang sedang berbaring, "Dia cantik tapi Phi lebih memilih yang lucu seperti Kit." Singto dengan suaranya yang serak yang hanya Krist yang bisa dengar sambil merapikan surai Krist

"Kit..?" Krist tersenyum malu dengan panggilan Singto untuknya, berusaha untuk menahan senyumnya dengan berpura-pura tidur.

—To Be Continue 🌚🌝

My little preciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang