[2] The First

20 2 0
                                    

"Matt.....!!!!!!!!" Teriak seorang wanita yang sudah berumur 40 tahunan.

"Matt!!! Come over here!" Ucapnya dengan suara lantang.

"Apa, Bu?" Tanyaku sambil setengah berlari dari kamarku ke dapur.

"Ini ada apple pie, tolong kasih ke ayah di kantornya ya. Kasihan dari kemarin dia menginginkan pie ini".

"Ok, Bu"

"Oh iya, sekalian belikan ibu roti di Calandra's bakery, ya. Ibu sudah lama tidak beli roti di sana. Rotinya pilih saja terserahmu!".

"Baik, Bu".

***

Setelah berpamitan dengan ibu, aku menyambar sepedaku dan mengayuhnya dengan riang.

Perjalanan ke kantor ayah selalu menjadi perjalanan yang menyenangkan, ini didukung juga oleh musim yang bersahaja. Musim semi. Walaupun sebenarnya baru saja musim dingin pergi dan suhu masih rendah, tapi udaranya sungguh menenangkan pikiran. Setidaknya untuk kali ini saja.

Ayahku merupakan seorang pegawai kantoran biasa di sebuah perusahaan distributor kertas. Ia biasa dipanggil "Mr. Eliot", tetapi aku lebih senang memanggilnya "Ayah", atau terkadang "Adam" saja. Ayah adalah teman terbaikku.

Di lain sisi, ibuku adalah seorang juru masak di sebuah restoran. Tapi itu dulu.  Ia dulunya seorang juru masak di restoran yang bernama Leviéllé dan sering disapa dengan sapaan "Mrs. E (Mrs. Eliot)". Namun, sekarang ibuku sudah hengkang dari pekerjaan itu karena adanya YouTube. Sekarang ibuku sudah bisa menghasilkan ratusan bahkan sampai ribuan dollar dari platform tersebut berkat video-video tutorial masaknya hanya dari rumah. Ah, perkembangan teknologi memang sangat menggiurkan.

Jarak dari rumah ke kantor ayahku kira-kira tak sampai 2 mil, atau kurang lebih 3 km saja. Aku biasa pergi ke sana dengan menggunakan sepeda kesayanganku yang baru kubeli 2 tahun yang lalu. Aku selalu pergi ke sana tanpa memerdulikan cuaca meski hujan, panas, ataupun salju. Mungkin inilah salah satu bukti cintaku kepada ayah.

Sebelum sampai di kantor ayah, aku melewati Leviéllé, aku jadi ingat bahwa dulunya aku pernah menjadi waiter di sana.

Ah, sudahlah. Tidak semua masa lalu baik untuk diingat kembali.

***

Akhirnya setelah 15 menit, aku sampai di kantor ayah.

"Apakah Adam ada di ruangannya saat ini?" Tanyaku kepada Claire, resepsionis di kantor ayah.

"Ada, dia ada di dalam. Silakan langsung masuk saja ya".

Tanpa mengetuk pintunya, aku langsung masuk ke ruangan ayah.

"Ayah, coba lihat apa yang aku bawa!".

*ayah sedikit terkejut sebelum akhirnya membuka bungkusan yang aku bawa*

"Wahh. Apple pie?? Kamu benar-benar datang di waktu yang tepat, nak".

"Hehe. Itu masakan ibu, Ayah. Kata ibu, ayah sudah menginginkan ini sejak kemarin".

"Ibumu memang tau apa mauku". Ucap ayah sambil mengusap-usap kepalaku.

***

Sepulang dari sana aku langsung pulang ke rumah dan ternyata ibuku sedang shooting video tutorialnya. Jadi, aku langsung ke kamar saja karena tak mau mengganggunya.

Aku mengecek hp, ternyata ada pesan dari Alex:

Aku mengecek hp, ternyata ada pesan dari Alex:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wah, senangnya. Akhirnya besok bisa me-merefresh-kan pikiran sejenak dari hal-hal gila akhir-akhir ini.

Mulai dari tugas sekolah yang menggunung sampai ke kebingunan untuk memilih sekolahku selanjutnya.

Ya, aku baru berada di kelas 8 middle school, yang artinya seharusnya aku akan lulus tahun ini. Tetapi, masalahnya high school yang akan aku tuju masih agak membingungkan. Jika putus sekolah saja bagaimana? .. Putus sekolah jelaslah bukan pilihan yang tepat. Haha. Semua orang tau itu. hihi...

Terlepas dari itu semua, tentu saja semua orang menginginkan sekolah yang cocok dan bagus untuk dirinya, begitu pula diriku.

Aku berencana untuk melanjutkan sekolahku ke Quinta High School, sekolah ini cukup jauh dari rumahku dan tinggal di asrama sekolah adalah salah satu pilihanku untuk bisa survive di sana nantinya. Aku memilih sekolah ini justru karena ingin berpisah sejenak dari orang tua demi kemandirianku kelak. Di sisi berlawanan, orang tuaku menginginkanku untuk bersekolah di Clift High School yang jaraknya hanya 4 mil dari rumahku. Selain itu, Alex, sahabat dekatku, juga berencana untuk bersekolah di sana. Jadi, seharusnya di Clift lebih banyak kemudahan.

Hal ini sungguh mengguncangku. Disatu sisi, aku menginginkan agar keinginanku terwujud. Di lain hal, aku juga tidak ingin memaksa orang tuaku untuk menurutiku.

Sepertinya aku harus tanya ke Julie dulu soal ini. Dia memang master untuk berbagai solusi dari segala masalahku.

*menelpon Julie*

"Oh, hi, Matt! Ada apa?"

"Hmm. Aku mau cerita suatu hal. Apakah kau sibuk?" Tanyaku.

"Tidak. Cerita saja".

"Begini. Aku kebingungan dalam memilih high school ........."

Tiba-tiba....

"Matt!!!! Matthew!!!!" Teriak ibu Matt.

"Ah, maaf, Julie. Ibuku memanggil. Sampai jumpa nanti". *menutup telepon*

"Matt, mana roti yang kamu beli tadi?"

"Astaga! Maaf, bu. Aku lupa. Haruskah aku kembali untuk membelinya?"

"Oh, ya sudah. Tidak apa-apa. Lagian suhu sudah semakin turun. Sebaiknya kamu bantu ibu untuk membersihkan ini. Sebentar lagi ayahmu akan pulang".

"Baik, Bu".

***

Masalah sekolah ini masih membuntutiku hingga malam.

Haruskah aku begadang lagi demi hal ini?

Tentu saja, tidak. Itu bukan pernyataan yang tepat.

Tapi....

Ah, haruskah aku larut dalam hal itu?

Tampaknya aku lebih baik bermain game untuk saat ini. Aku rela telat bangun karena bermain game daripada telat karena memikirkan hal itu. Untuk permasalahan ini akan kubicarakan dan kupikirkan nanti saja. Aku benar-benar akan melakukannya.

Clean (PAUSED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang