Prolog & Introduction

530 48 9
                                    

Penuh akan kebingungan adalah reaksi pertama yang refleks menguasai dirinya dalam setiap kejapan mata yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang diterima oleh netranya. Mata indahnya sudah terbiasa terpejam ditemani oleh kegelapan hingga ia juga butuh waktu untuk menyambut sang lawan dari kegelapan. Seiring detik yang terus bergulir sejak kesadaran menguasai dirinya, terpaan setumpuk pertanyaan pun mulai menyerang setiap inci sel otaknya. Beberapa pertanyaan dapat dengan mudah terjawab olehnya, namun anehnya sebagian besar pertanyaan tersebut seperti sama sekali tidak bisa terjawab atau memang dirinya yang tidak memiliki jawaban atas banyaknya pertanyaan tersebut.

Sejak pertama kali ia membuka mata, langit-langit ruangan yang berwarna putih adalah pemandangan yang segera menyambut pengelihatannya. Walaupun kesadarannya yang berada dalam batas ambang, dorongan rasa ingin tahu atas kebingungan yang melandanya memaksa netranya berpindah dari langit-langit kosong yang tidak menarik untuk mulai menjelajahi sisi lain dari ruangan tersebut.

Seorang pria berjas putih dan seorang wanita berseragam dengan warna yang senada berdiri di sisi ranjangnya. Kedua sosok itu adalah hal lain yang tertangkap indra pengelihatannya dan satu-satunya objek yang paling menarik untuknya. Selain dari itu tidak ada lagi sesuatu yang atraktif untuknya dalam ruangan yang didominasi warna putih dan krem tersebut. Asing, semuanya terasa asing, termasuk dua orang di hadapannya, ia sama sekali tidak mengenal mereka. Ia juga tidak bisa memikirkan jawaban atas pertanyaan mengapa ia terbaring di ruangan itu dan terbangun di depan dua orang asing tersebut.

Kedua orang di sisi ranjangnya terus setia mengamatinya, seakan sedang menunggu dengan sabar sampai ia bisa membiasakan diri dengan cahaya terang dari lampu yang menerangi ruangan. Juga menunggunya sedikit tenang dari serangan kebingungan sesaat yang menghantamnya. Menunggu ataupun berjaga-jaga dengan sigap pada apapun reaksi yang mungkin akan ditunjukannya.

Pertama-tama tentu saja ia ingin bertanya, menanyakan apa saja pada mereka pertanyaan yang tercetak dalam otaknya untuk memuaskan rasa bingung dan keingintahuannya. Namun ketika ia membuka mulut tidak ada suara yang mampu dikeluarkannya. Tenggorokannya terasa kering dan pekat seakan sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menggunakan pita suaranya untuk berbicara. Aneh sekali.

"Nyonya Son, apa Anda bisa mendengarku? Bagaimana perasaan Anda sekarang?"

Nyonya Son? Siapa? Apakah pertanyaan tersebut diajukan kepadanya? Bagaimana perasaannya sekarang? Sangat buruk. Ingin rasanya ia memberikan jawaban tersebut secara gamblang. Namun lagi-lagi ia belum bisa menjawab, ia perlu waktu untuk menetralkan tenggorokannya agar suaranya bisa keluar dengan normal seperti seharusnya. Ia memilih untuk diam dan memandang kedua orang di depannya yang kini dapat ia perhatikan dengan seksama setelah kesadarannya mulai pulih sepenuhnya, ternyata mereka adalah sepasang dokter dan perawat.

Apakah ia sedang sakit, adalah pertanyaan yang selanjutnya merasuki kesadarannya. Sebenarnya tidak perlu meminta jawaban dari orang lain, ia bisa dengan mudah menemukan jawabannya sendiri. Ia tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari bahwa ia sedang sedang terbaring di ruangan rumah sakit. Pantas saja ia merasa keadaan dirinya sangat buruk, ia tidak tahu bagian mana dari dirinya yang sakit ataupun terluka, namun ia merasa tidak berdaya. Sebagian besar bagian tubuhnya terasa kaku dan kebas seperti sudah lama tidak digerakan, kepalanya berat, dan perasannya tidak karuan. Gravitasi seakan sangat erat menarik tubuhnya agar tetap betah berbaring tanpa banyak bergerak. Sudah berapa lama ia terbaring di sana? Bagaimana bisa seperti ada lem yang membuat tubuhnya merekat erat di atas ranjang. Apa yang terjadi? Mengapa ia tidak bisa mengingat apapun yang membuatnya berakhir terbaring tidak berdaya di sana?

BACKLASH ❝MARK WENDY❞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang