Cklek.
"Nona, air untuk mandi sudah saya siapkan." Pintu terbuka dan kepala seorang ahjumma menyembul dari balik pintu kamar. Kepala ahjumma yang menunduk itu pun mendongak, mengarahkan pandangannya ke arah Evelyn dan Taeyong. Setelah melihat bagaimana posisi mereka berdua, ia sedikit kikuk kemudian langsung menutup pintu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Evelyn juga merasa kikuk. Ia menurunkan tangannya dari dada Taeyong. Taeyong sendiri juga merasa kikuk setelah itu dan ia berdeham untuk memecahkan suasana canggung itu dengan melangkah mundur. Evelyn mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan untuk menghindari beradu tatap dengan Taeyong, pun dengan laki-laki itu.
"Maaf," ujar Evelyn akhirnya untuk memecah keheningan, "aku tak bermaksud untuk-" lanjutnya, belum selesai ia mengucapkan apa yang hendak disampaikannya, Taeyong telah memotongnya.
"Aku tahu. Kau pasti ingin tahu soal tatoku."
"Bagaimana kau tahu?"
"Itu hanya sekedar tato, tak ada makna dibalik pembuatannya," jawab Taeyong ketika wanita di hadapannya itu menuntut lebih, "bergegaslah mandi," lanjutnya dengan menyuruh.
***
Dalam diam, Evelyn seringkali bertanya pada dirinya sendiri, seberapa ia berharga untuk keluarganya terutama bagi sang kakak. Hal itu bukan terjadi tanpa alasan, semenjak kejadian malam itu, gadis Kwon tersebut sudah menginap beberapa hari di kediaman sahabat karibnya, Lee Taeyong. Namun, tak ada sebuah panggilan di gawai miliknya yang berasal dari Elena, apakah ia benar-benar tidak berarti bagi sang kakak? Kakaknya seolah tidak mempedulikan bagaimana ia makan, apakah ia baik-baik saja ataukah ia sakit, atau memang kakaknya benar-benar tidak membutuhkannya atau mempedulikannya sama sekali? Nyatanya ia tak mencari keberadaan Evelyn atau sekadar menghubunginya. Manik biru keabuan itu terfokus pada surat berselimut amplop berwarna putih rapi, yang tergeletak di meja samping ranjang. Sedang Evelyn hanya berdiri di sisi jendela dengan melipat tangan, memandang kosong ke arah kolam renang.
Keraguan merayap dalam sanubari Evelyn akan keputusannya yang akan ia ambil. Berbagai pertanyaan berkelebat dan terus terngiang-ngiang di kepalanya, apakah ia bisa melakukannya? Apakah ia sanggup menerima risikonya? Apakah ia sanggup menghadapi semuanya?
"Apa kau sudah siap?" Suara baritone milik seseorang bertanya pada Evelyn.
Evelyn membalikkan badan, "Entahlah. Aku siap menyerahkannya, tapi aku tak siap untuk berhadapan apalagi berbicara dengannya."
"Jika kau tak yakin, kau tak harus melakukan ini," nasihat Taeyong.
Evelyn hanya mengangguk sebagai tanggapan apa yang baru saja dilontarkan oleh Taeyong. Rasanya ia ingin menjerit dan menangis dalam pelukan Taeyong seperti malam itu lagi. Laki-laki Lee itu menyerahkan mantel hangat dan sebuah tas pada Evelyn, tangan sang gadis itu langsung menerima ulurannya. Dengan segera, Evelyn mengenakan mantel hangat beserta tas seraya mengambil sebuah surat yang sudah ia siapkan sejak semalaman. Ia pandangi lagi sepucuk surat yang ada di genggamannya sekarang, terdiam mengamati lekuk surat itu dengan pasti, lalu jemarinya dengan terampil memasukkan ke dalam tas yang sudah menggantung di bahu.
"Ayo," ujar Evelyn dengan menggengam tangan Taeyong erat.
***
Evelyn menyodorkan sepucuk surat yang masih terbungkus rapi dengan amplop berwarna putih itu di hadapan Direktur Utama tempatnya bekerja yang tak lain adalah tunangan kakaknya sendiri, seseorang yang dulunya ia suka hingga sekarang -Sehun. Laki-laki Oh itu memandangi surat yang baru disodorkan beberapa saat lalu dan mengalihkan pandangannya pada Evelyn. Mata keduanya saling beradu. Sesaat, Evelyn ingin menghindari tatapan mata itu dengan mengalihkan tatapannya ke arah yang lain. Dalam diam, ia berharap Sehun mengambil surat itu dan berkata "Ya, aku setuju." Akan tetapi, apa yang ia harapkan tak segera terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
「✔」 Montage
FanficKepercayaan penuh yang tak seharusnya Evelyn Kwon berikan padanya. Karena sejak malam itu semuanya berubah. © Emma Griselda. Cloud Nine, 16 Februariㅡ19 Maret 2019.