84. Rasa Rindu

2.8K 287 150
                                    

Je menarik koper pemberian Justin menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah.  Hari ini ia akan terbang ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan di negeri orang.  Tubuhnya dibalut pakaian ala-ala musim dingin yang juga dibelikan oleh Justin. 

Je tidak bisa menolak barang-barang pemberian Justin karena lelaki itu memaksa dengan alasan tawanan harus patuh.  Selalu kalimat itu yang menjadi ancaman untuk membuat Je patuh pada aturannya.  Kemarin mereka belanja banyak untuk perlengkapan Je di Jerman.  Entah berapa rupiah yang sudah Justin habiskan untuk belanja.  Mulai dari selimut, pakaian hangat, syal, koper, dan kosmetik, semuanya dibeli.  Akhirnya semuanya berhasil dibeli meskipun proses pembelian dilakukan dengan penuh pemaksaan.  Jika Je menolak, Justin akan langsung pasang eksresi tersadis hingga mengakibatkan Je wajib mengangguk.

Andai saja Je mau menerima uang cash dari Justin untuk bekal di Jerman, tentu Justin tidak perlu mengajak Je belanja ke mol.  Repot.

Je menganggap dirinya bukan pekerja di rumah Justin, bukan saudara, juga bukan wanita simpanan, jadi tidak pantas rasanya menerima uang secara cuma-cuma.  Perasaan itu muncul dengan sendirinya.

Je tersenyum lebar melihat Justin yang sudah menunggu, lelaki itu berdiri di dekat mobil yang bertengger di halaman rumah.

“Jelita!”

Suara teriakan dari arah belakang membuat Je menoleh dan menatap Milka yang berlari ke arahnya.  Tubuh Je terhentak ke belakang begitu Milka menubruk dan memeluknya sangat erat.

“Je, lo hati-hati, ya.  Jaga diri baik-baik.  Lo jangan sampai sakit.  Karena kalo lo sakit, nggak akan ada orang di deket lo.  Di sana pasti semuanya asing.  Lo sendirian,” lirih Milka dengan suara terisak-isak.  Milka menangis sesenggukan.

Mendengar isakan tangis Milka, juga tubuh gadis itu yang bergetar, Je jadi ikut-ikutan menangis.  Je tidak sesedih itu ketika akan berpisah dengan Odi.  Je juga tidak segalau itu saat terakhir kali bertatap mata dengan Odi.  Tapi dengan Milka, keharuan benar-benar terasa.  Milka sangat menyayangi Je.  Hal itulah yang membuat Je merasa tersentuh.

Milka tidak bilang jangan lupakan aku, jangan lupa calling, atau apapun itu, Milka justru mengucapkan kata-kata yang mengandung banyak pesan yang lebih kepada sebuah kecemasan.  Padahal tadi malam mereka sudah menghabiskan waktu hampir semalaman untuk mengobrol dan berbagi cerita.  Tadi juga mereka sudah berpelukan dan tangis-tangisan, tapi sekarang semuanya terulang lagi. 

“Milka, gue pasti akan sering-sering calling elo.  Tenang aja, gue bakalan terus laporin keadaan gue di sana.  Dan lo juga janji ngabarin keadaan lo di sini.”

Milka melepas pelukan dan menatap mata Je yang basah, sama seperti matanya yang juga sembab.

“Gue di sini banyak yang ngejagain.  Tapi lo di sana, lo bakalan sendirian.  Pokoknya lo harus jaga diri baik-baik.  Lo harus cepet minum obat kalau sakit.  Langsung telepon aja Mas Justin kalau ada apa-apa,” cerocos Milka sambil terus mengusap air matanya.

“Iya iya.” Je mengangguk.  “Ya udah, gue pergi.  Lo baik-baik di sini, ya.  Jangan lupa minta cariin jodoh sama Justin kalau Justin kebanyakan nyuruh-nyuruh dan mengakibatkan waktu lo habis terbuang cuma buat ngelayanin dia.”

Milka tersenyum di sela tangisnya.

Justin diam saja namanya disebut-sebut.  Justin memasukkan koper ke bagasi.  Ia masuk ke mobil disusul oleh Je. 

Milka melambaikan tangan saat mobil melesat meninggalkannya.

“Justin, kecemasan Milka kok jadi nular ke aku, ya?” Je mendadak gusar.

Justin menoleh dan tersenyum melihat wajah gadis di sisinya.  “Cemas kenapa?”

“Aku bakalan sendirian di sana.”  Je membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi ketika ia hidup sendiri tanpa seorang pun yang ia kenal di sana nantinya.  Antara bahagia dan cemas campur aduk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE LOVE OF A PRISONERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang