Satu jam sebelumnya.
Di kamar kecil yang hanya berukuran tiga kali tiga meter. Ada lemari yang pintunya sudah rusak, matras mini tanpa ranjang, dan kipas angin yang bunyinya seperti mesin genset, serta televisi 29 inc yang gambarnya sudah goyang-goyang, sesekali mati, dan akan hidup jika ketokin.
“Acaranya di hotel mana, Di?”
“Hotel Mekar Sari, jalan Narasinga,” sahut Odi di seberang.
Je menempelkan hape di telinga dan mengapitnya dengan bahu, ia tampak kesusahan mengenakan gaun akibat kepalanya miring-miring demi bisa bicara dengan Odi, cewek tomboi yang kalau dari belakang mirip lelaki. Mulai dari gaya dan suaranya juga cowok banget. Rambutnya potongan lelaki, postur tubuh kurus tinggi, cara jalannya menyerupai cowok. Tapi fisiknya membuktikan kalau dia adalah perempuan. Jadi wajar teman-teman di SMA Talenta memanggil Melodi dengan panggilan Odi, bukan Melo atau Imel. Karena dia memang kayak laki-laki. Makanya kalau kenalan sama cowok, Odi sering bilang, ‘Nama Imel, Bang. Kalau malam Jodi.’
Gaun biru muda kini sudah membalut indah tubuh Je.
“Hotel Mekar Sari itu yang mana, Di? Kok, baru denger gue?”
“O em ji, searching dong, Je. Percuma ada google maps. Masih aja katrok lo.”
Je menatap ponselnya. Ponsel kecil keluaran tahun kapan yang fungsinya hanya bisa untuk menelepon dan sms. Odi sepertinya lupa jika ponsel Je tidak bisa untuk mengintip internet.
Kesulitan dengan posisinya, Je meletakkan hape ke meja dan menekan tombol louspreaker. Ia memoles wajah dengan bedak. Pokoknya dandan di depan kaca kecil yang sudah pecah. Kaca diletakkan di atas meja hingga untuk bisa berhadapan, ia mesti berlutut seperti sedang menyembah sesajian.
“Yang Cuma lantai tiga itu, loh,” terang Odi.
Je terkikik geli. Kenapa Odi menyewa hotel jelek begitu? Mungkin karena murah kali. Tak heran, Odi memang super ngirit. Jajan di sekolah saja maksimal Cuma lima ribu. Selebihnya ditabung. Katanya hemat pangkal kaya, tapi kalau kelewat ngirit jadi pelit bin medit. Ngomongin soal medit, sepertinya kalau untuk persahabatan, tidak pelit. Buktinya, sepulang sekolah tadi, Odi rela mengajak Je ke mol dan memilihkan gaun yang cocok untuk Je. Sayangnya tidak cocok untuk ukuran kantong Je. Harganya fantastis. Dan Je hanya memiliki uang recehan. Mana cukup untuk membayarnya. Odi yang menomboki kekurangannya.
“Lo sih ulang taon pakai nyewa hotel segala. Ngapa nggak di rumah aja?”
“Gue kan pengen beda.”
“Buruan, ya! Udah rame, nih. Gue tunggu di sini.”
“Iya iya.”
Je berputar sebentar di depan kaca lalu menghambur keluar tanpa menutup pintu kamar kos. Tidak perlu ditutup, pintu kamar kos sudah rusak dan Je tidak punya waktu untuk mengganjalnya dengan batu yang teronggok di balik pintu.
“Jangan malam-malam pulangnya, Je!” pekik Tante Rima, pemilik kosan yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Je.
Dengan penuh percaya diri berbekal kado kecil yang dibungkus menggunakan kertas bergambar boneka, Je berangkat ke lokasi pesta menaiki bajaj.
“Hotel Mekar Sari, Pak. Yang di jalan Narasinga itu,” titah Je pada supir bajaj.
Sempat heran saat supir bajaj sudah menurunkannya. Bangunan yang sekarang berdiri kokoh di hadapannya bukanlah hotel berlantai tiga, tapi bangunannya tinggi. Entah berapa lantai. Ingin bertanya pada supir bajaj tapi sudah pergi. Berkali-kali menelepon Odi, tapi tidak diangkat.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOVE OF A PRISONER
Teen FictionGenre : Fiksi Remaja. Siapa yang nggak kenal Justin? Gayanya beeeuuuh bikin cewek gedeg. Memang sih dia tajir dan ganteng, tapi playboy maaak. Udah gitu rekor dalam sederet catatan kriminal. Hadeeuh... Justin, pemilik mata gelap dan alis tebal meng...