31 Mei

362 46 36
                                        

"Hyung, apa kamu lihat Hyunjin?"

Changbin mengalihkan perhatian dari layar ponselnya ketika Jisung tiba-tiba menghampiri dengan wajah bingung. Pemuda itu menggeleng. "Nggak lihat. Kenapa?"

"Sudah lima belas menit dia bilang mau ke toilet. Anak itu nggak apa-apa, kan?" Jisung menggaruk belakang kepalanya sambil menghela napas, kelihatan gelisah. Changbin mengerjap sebelum mengunci ponselnya dan menarik Jisung menuju toilet.

"Kenapa nggak bilang dari tadi, sih. Kamu tahu Hyunjin seperti apa kalau sedang gugup," ujar Changbin gusar. Jisung tiba-tiba terkesiap.

"Jangan-jangan...dia...?!" Jisung menggantung ucapannya, membuat wajah Changbin semakin tegang.

"Makanya ayo kita cek."

Beruntung ketika mereka sampai di toilet, Hyunjin masih terlihat baik-baik saja meskipun wajahnya menunjukkan kegugupan yang nyata. Di tangannya tergenggam kertas kecil yang sudah lecek, tulisannya bahkan sulit dikenali karena sudah agak pudar. Mungkin karena Hyunjin menulis dengan pensil.

"Ngapain di sini?" Hyunjin menatap Jisung dan Changbin bergantian sembari mengerucutkan bibir. Ia terlihat berusaha menyembunyikan kertas yang berada di genggamannya ke dalam kantong celana.

Jisung bergegas menghampiri Hyunjin sebelum menangkup kedua pipi temannya dengan telapak tangan. "Kamu nggap apa-apa, kan? Baik-baik aja? Masih bisa napas?"

Changbin memukul pundak Jisung dari belakang. "Oi, Jisung."

"Diam deh, hyung," Jisung balas menggerutu sebelum mengembalikan perhatiannya ke Hyunjin. "Nggak mau muntah atau nangis kan? Kamu oke?"

Berondongan pertanyaan penuh kekhawatiran dari Jisung otomatis membuat Hyunjin mencetuskan tawa pelan. Ia menggeleng, refleks menyandarkan pipinya pada telapak tangan sang teman. "Sejauh ini nggak apa-apa, Jisungie."

"Good," pemuda itu mengangguk sebelum berjinjit dan memberi kecupan di kening Hyunjin. Changbin mengernyit jijik dan memutuskan untuk keluar dari toilet, menggumamkan protes tentang Jisung yang terlalu senang memberikan afeksi yang tidak perlu. Yang diprotes hanya memutar mata sebelum menepuk pipi temannya pelan. "Yang penting jangan gugup. Kamu kan sudah latihan sejak seminggu lalu, sekarang berusahalah untuk mendapatkan yang terbaik. Oke?"

Kata-kata penyemangat dari Jisung membuat Hyunjin merasa lebih lega dibanding sebelumnya. Ia tersenyum dan mengangguk, menarik Jisung dalam pelukan sebagai ucapan terima kasih atas perhatian temannya. Jisung balas menepuk punggung Hyunjin sebelum melepaskan diri.

"Lima menit, oke? Kami tunggu di altar."

Setelah Jisung berlalu meninggalkannya, Hyunjin menatap bayangannya di cermin untuk beberapa menit. Menguatkan hati, pada akhirnya pemuda itu memutuskan untuk menghadapi ketakutannya.

Ketika ia melangkah memasuki aula yang menjadi tempat resepsi pernikahan, teman-temannya bergantian menepuk pundak Hyunjin untuk memberikannya semangat. Ia bisa melihat kedua orangtuanya menatapnya bangga, membuat kegugupan Hyunjin memudar perlahan. Tamu-tamu undangan yang lain pun tersenyum ke arahnya hingga suasana hatinya semakin baik. Ia memberi anggukan sopan pada pastor di hadapannya sebelum tersenyum pada Seungmin yang berdiri di sampingnya sebagai best man.

"Hei, Hwang Hyunjin," Seungmin berbisik dan memintanya mendekat. Hyunjin refleks mencondongkan diri ke arah temannya, "Kalau butuh sapu tangan, aku sudah membawakannya."

Hyunjin menaikkan alis heran, "Buat apa sapu tangan?"

"Kalau kau banjir keringat karena menunggu pengantin wanitanya kan tidak lucu. Nanti tidak bagus saat difoto," seloroh temannya sambil terkekeh. Hyunjin hanya memutar bola mata ke arah Seungmin, memutuskan untuk tidak membalas perkataannya.

Setelah beberapa menit berlalu, pembawa acara pada akhirnya mengumumkan bahwa mempelai wanita bersiap memasuki ruangan. Para tamu undangan mulai berdiri seiring dengan wedding march yang melantun memenuhi ruangan. Hyunjin menyentuh dada kirinya hanya demi menenangkan jantung yang hendak meledak. Bisa saja ia terduduk lemas saat itu juga di depan altar jika Seungmin tidak segera memegangi sikunya.

Detik-detik menjelang Chaeyeon memasuki ruangan, Hyunjin berusaha untuk menarik napas panjang. Namun ketika sosok gadis itu mulai memasuki ruangan bersama ayahnya, Hyunjin tercekat. Ia selalu bilang pada Chaeyeon bahwa tidak peduli apapun yang ia kenakan, gadis itu tetap terlihat cantik di matanya. Hanya saja sekarang Hyunjin harus jujur mengatakan bahwa Chaeyeon terlihat paling cantik saat memakai gaun pengantin. Tatanan rambutnya, rias wajahnya, senyum yang terulas di bibirnya, semua terlihat menyilaukan. Hyunjin bahkan harus mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa gadis yang berada di hadapannya ini memang Lee Chaeyeon dan bukannya malaikat yang jatuh dari surga.

"Hwang Hyunjin, Lee Chaeyeon, apa kalian sudah siap?"

Beruntung ia segera tersadar dari lamunan saat pastor memanggil namanya. Hyunjin menerima uluran tangan Chaeyeon dan membungkuk hormat pada ayah sang gadis sebelum menuntun gadis itu mendekati altar. Tangan Hyunjin mungkin akan terasa tidak nyaman di genggaman Chaeyeon karena terasa lembab. Namun alih-alih melepaskan, Chaeyeon justru mempererat genggamannya.

Keduanya mengangguk di waktu yang bersamaan sebelum saling melempar senyum. Pastor pun ikut tersenyum dan mengangguk, lalu mulai membacakan sumpah pernikahan.

Hyunjin mengucapkan sumpahnya dengan lancar, begitu pula dengan Chaeyeon. Saat Hyunjin pada akhirnya berkesempatan untuk memakaikan cincin di jemari Chaeyeon, pemuda itu baru menyadari bahwa tangannya gemetar. Chaeyeon menggenggam jemari Hyunjin dengan tangan yang lain sebelum melemparkan tatapan meyakinkan pada kekasihnya. 

"Maaf," bisiknya sangat pelan hingga hanya Chaeyeon yang mendengar.

"Nggak apa-apa, Hyunjinie. Jangan khawatir, nggak ada yang melihat," gadis itu balas berbisik, membuat perasaan Hyunjin sedikit lebih baik. Gadis itu pun sama gugupnya seperti dirinya. Ia mengusap buku-buku jemari Chaeyeon untuk menenangkan sang gadis, yang dibalas oleh senyum manis dan bisikan terima kasih.

"Dengan ini, Hwang Hyunjin dan Lee Chaeyeon resmi menjadi suami istri," pastor akhirnya mengucapkan pemberkatannya, yang membuat Hyunjin serta Chaeyeon merasa teramat lega.

"You may now kiss the bride."

Perlahan Hyunjin menyentuh wajah Chaeyeon dengan telapak tangannya, membiarkan dirinya melebur dalam tatapan sang gadis yang berkaca-kaca. Hyunjin tersenyum kecil sebelum menunduk untuk mempertemukan bibir mereka, memberi Chaeyeon kecupan lembut yang menyegel janji suci mereka selamanya. Air mata Chaeyeon yang menetes pelan terasa membasahi pipi Hyunjin, tetapi pemuda itu tidak membiarkan hal itu mengganggu momen bahagia mereka.

"I love you, Lee Chaeyeon. So much it hurts." Hyunjin menghapus air mata Chaeyeon dengan ibu jarinya, menatap gadis itu dengan sorot lembut yang membuat kedua lutut sang gadis berubah menjadi jeli. Chaeyeon lantas menarik Hyunjin ke pelukannya, membenamkan wajah di dada sang pemuda.

"I know, Hyunjin-ah," bisikannya terdengar teredam, tetapi Hyunjin masih dapat menangkap kata-kata yang diucapkan sang gadis, "And I love you, too. I will love you for a very, very , very long time."

"Terima kasih," Hyunjin mengecup puncak kepala Chaeyeon sembari memejamkan mata, sebelum melepaskan pelukannya. "Terima kasih sudah memilihku sebagai teman hidupmu."

***

one & only (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang