Langit Runtuh

5.5K 340 22
                                    

Sebuah cerita by Ciayo Indah

Aku iba melihat Mbak Nur, sejak suaminya kawin lagi dia nampak stress. Anaknya 3 kecil-kecil, jorok tak terurus, merengek-rengek. Suara tangisan sambung menyambung terdengar dari rumahnya.

Mereka baru berhenti menangis kalau masuk malam, tanda sudah tidur.

Mbak Nur makin frustasi. Suaminya benar tak nampak lagi batang hidungnya. Sejak keributan besar terakhir, setelah Mbak Nur mendapati berita, kalau suaminya mengantar seorang perempuan yang melahirkan di sebuah rumah sakit.

Kebetulan perawatnya adalah orang kampung kami. Suaminya malu dan terkejut, saat ditanyai pengisian data oleh perawat tetangganya itu. Waktu itu ia menjawab, itu adalah anak keempatnya, sedang si ibu menjawab itu anak pertama mereka.

Berita itu menggemparkan, tak ada yang menyangka, karena yang kami tahu Mbak Nur dan suaminya adalah keluarga harmonis yang sempurna, pasangan tampan dan cantik, anak-anak yang sehat menggemaskan, ditambah lagi kehidupan mereka bisa dibilang tak berkekurangan untuk ukuran pasangan yang masih muda.

Sekarang, sejak suaminya pergi dan benar-benar tak pulang, Mbak Nur kerap duduk di lantai depan pintu terasnya, bersama ketiga anaknya. Masuk sesekali, lalu duduk lagi, bagai tak bosan menunggui suaminya pulang.

Pandangannya kosong menerawang ke depan jalan. Tak dilihatnya orang yang hilir mudik lewat, tak dihiraukannya sapaan memanggil, ia melamun, sesekali menyeka air mata.

Suara tangisan anak-anaknya juga lama diresponnya. Yang sulung lelaki, Lintang namanya, kurus, tinggi, mata cekung. Usia 5 tahun, rencana mau mendaftar TK tampaknya batal sudah. Ibunya frustasi. Ia menjagai dua adiknya dalam diam, dalam sakit. Tentu saja, Lintang sudah tahu, dia sudah cukup umur untuk paham, saat mendengar semua yang terjadi.

Ayahnya sudah pergi, dan menikah lagi.

Anaknya yang bungsu menjelang umur 2 tahun, tak terlalu cengeng, lebih sibuk dengan benda-benda di sekitarnya, menangis bila lapar, haus, dan buang air saja. Berbeda dengan Kinayung anak nomor dua, suara tangis dan rengekannya terdengar terus. Dari rumah Mbak Nur hanya suara tangis Kinayung dan suara menenangkan abangnya Lintang lah yang kerap kami dengarkan.

Satu siang, aku sengaja menjenguk, mengantar sayur dan sedikit lauk, sembari mengecek anak-anak mbak Nur. Aku tahu perekonomian mereka pastilah merosot mengingat suami Mbak Nur tak pulang selama sebulan, dan tentu tak memberi nafkah.

"Alangkah baiknya mbak buka rekening, jadi kalau Mas Hendra tak mau pulang, ia tetap bisa memenuhi kewajibannya menafkahi kalian dengan mengirim transferan... "

"Dia tak mau mengangkat panggilan telponku lagi dan hanya sekali saja membalas smsku. Disodorkan Mbak Nur hape yang terus digenggamnya itu padaku. Kubaca pesan masuk dari nomor suaminya.

[Heh! Sudah ya! Jangan sibuk nyari mas Hendra, dia lagi ngurus aku dan bayinya yang baru lahir! Anakmu kan udah lebih besar dari anak kami, cari nafkah sendiri sana! Minta saja taunya! Gak ngerti kerja! Kamu harus terima kenyataan, Mas Hendra gak akan pernah pulang pada kalian lagi. Jangan menunggunya, jangan usik kebahagiaan kami. Ibu dan semua keluarganya juga sudah menerimaku. Dia sekarang satu-satunya lelakiku dan ayah anakku, harap mengerti. Titik.]

Astaghfirullohaladziim.

Gila. Ini pasti tulisan istri baru Mas Hendra. Batinku. Kubaca waktu kirim sms, sudah 2 minggu yang lalu. Pandanganku kembali pada Mbak Nur yang sedang memangku Seruni, yang menghisap botol susu berisi air gula.

Halaman rumahnya kotor, padahal dia dulu begitu rajin mengurus tanaman. Rumahnya bagai kehilangan ruh, kering dan layu. Wanita ini begitu pasrah, lemah tak ada perlawanan.

Kumpulan CerPen Ciayo IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang