Terpesona Anak Tiri 1

1.8K 98 2
                                    

Namaku Yudi, aku sekarang duda, anakku 3 perempuan semua, sudah dibawa kabur oleh mantan istriku. Dia katanya tak tahan dengan sikap temperamentalku yang semakin hari semakin gawat.

Gimana gak temperamental, anak tiga nangis aja tahunya, dari yang paling besar sampai yang paling kecil setiap melihatku, mereka ketakutan dan menangis. Ibunya juga gak becus mendiamkan anak.

Rumah tak pernah tenang, selalu ribut. Sementara aku lebih suka jika kondisi rumah senyap dan tenang.

Punya anak bikin ribut, mau indehoy juga jadi males. Aku frustasi, mau tak mau setiap hari mereka jadi sasaran pelampiasanku.

Jujur aku menikah karena sayang pada istriku, aku tak menuntut istriku harus cantik harus ramping dan gak bau. Aku tak menuntut apapun, hanya satu yang kucari rumah yang tenang. Tanpa suara rengekan.

Mendengar rengekan, emosiku serasa di setrum. Aku langsung meledak cari pelampiasan,  dan itu jadi candu, obatku saat mengusir perasaan kesal.

Suara anak-anak berhasil membuatku gila ditambah lagi suara ibunya. Selama 30 tahun aku melajang dan hidup sendirian, lebih nyaman menurutku daripada menikah. Ditambah lagi istriku beranak, beranak dan beranak saja kerjanya.

Kami tinggal di pedesaan pinggiran kota, masih daerah yang lengang dan sepi. Sengaja kupilih karena aku tak suka keributan. Tp ternyata tetap saja aku tak tahan. Setiap kali anakku merengek emosiku memuncak.

"Apa kalian tak bisa diam dan tenang sekali sajaa!!?" melotot mataku, lebih melotot lagi bocah-bocah dengan rambut awut-awutan itu, pada satu sore aku pulang kerja dari membawa truk kayu.

Mereka tadi langsung diam mengkerut saat aku lewat masuk ke pekarangan, namun jeritan si bungsu karena kakinya digigiti semut merah meledak dan bikin panik dua kakaknya. Mereka membekap mulut bocah ingusan dua tahunan itu, sambil melirik takut-takut melihatku.

Tingkah mereka entah mengapa menguatkan kehadiran setan yang semakin gencar menguasai pkiranku, aku geram.

Tak menunggu lama, biru lebam-lebam muncul di pipi, lengan, bahu, mata dan paha mereka. Habis sudah mereka kupukuli.

"Masukkan saja mereka semua ke sekolah!agar rumah ini tenang!" Teriakku pada ibu mereka yang terisak menangisi ketiga anaknya yang suara tangisnya juga sudah tertahan karena takut terdengar olehku.

"Mereka belum bisa sekolah! Apa kau lupa? Eli masih 4 tahun, Emi 3 tahun,  dan Eni 2 tahun!" jawab istriku menyentak dan mulai meng-kau kaukan aku.

Aku lebih ngeri lagi mendengar tiap kali dia menyebut usia anak-anaknya, setiap tahun dia beranak. Jangan-jangan diperutnya juga sudah ada anak lagi?

Melihat raut mukaku yang merengut dan kepalan tanganku yang memukul-mukul pelan sandaran lengan di kursi kayu yang kududuki, karena sebal mendengar bantahannya dan isakan mereka. Istriku angkat bicara, bekas bibir lebamnya belum hilang, setelah malam sebelumnya ia kuhantam karena ketiduran dan lama membukakanku pintu.

Dengan air mata bercucuran dan bibir gemetar-gemetar, ia mengeluarkan segala sakit hatinya selama ini, perasaan jengah dan tak tahannya padaku keluar meluap-luap. Nampaknya keputusannya sudah final kini,

"Kalau begini terus...kalau setiap hari kau pukuli kami...kau hajar anak-anak...aku gak tahan! Dari mereka lahir kau tak pernah suka...terus kau gebuki kami, Bang! Daripada kami mati kau siksa... Ughhh ugghuuhuuuuu... Sejak Eli lahir... kau semakin parah...bukan pernah senang kami kau buat, bukan pernah kau menggendong mereka, bukan sayang kau pada kami, bukan pernah kau beri kecukupan, bukan banyak uangmu...bukan kaya, bukan sholat kauu!"

"Diaaamm!" mendengar cerocosnya yang panjang bak kereta api. Terlebih ia berani menyinggung uangku, aku kembali emosi. Sekilat kulihat pisau di meja dapur di depanku duduk.

Kumpulan CerPen Ciayo IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang