Zio masuk ke rumah utama. Semua keluarga berkumpul. Dari yang muda hingga yang berstatus nenek dan kakek Zio. Langkahnya tertatih, merasa canggung di depan keluarga besar. Apalagi keberadaan Alex yang seperti masih tidak terima kepulangannya.
"Masih punya muka kamu pulang ke sini?" sinis Alex. Laki-laki itu masih memendam amarah karena anaknya membangkang.
"Aku yang menyuruh dia pulang, Alex." Alana menatap tajam, tak terima jika anaknya disudutkan. Sama seperti ibu-ibu yang lain. Seburuk apapun keadaan anaknya, tak terima jika ada yang menghina atau memukul. Meski yang memukul itu ayahnya sendiri.
Mendengar suara Alana, semua terdiam. Tidak ada yang memprotes. Alana bangkit dari duduknya, menyambut Zio dengan merengkuh sang anak ke dalam pelukan. Tangis Zio pecah, tak bisa menahan haru. Alana mengajak Zio ke kamar yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. Keadaanya masih sama, tetap rapi dan wangi. Setiap siang Alana menyempatkan tidur di kamar itu, memeluk guling yang sengaja disemprotkan parfum kesukaaan Zio. Hanya dengan begitu, kerinduan pada anaknya terobati. Tak ada yang tahu jika hatinya tengah terluka karena perpisahan dengan anak yang selalu disayangi.
"Ingatlah, Nak. Meskipun seisi dunia membencimu, Miu tetap ada untukmu," ujar Alana sembari mengusap rambut Zio. Anak laki-lakinya itu sedang berbaring. Paha Alana dijadikan bantal. Air matanya menetes tak tertahan. Ibu yang dia benci karena terlalu banyak aturan, ternyata mementingkan dirinya lebih dari apapun.
Setelah melewati fase kebodohan yang pernah dilakukannya, Zio tak ingin membangkang lagi. Larangan-larangan ibunya ternyata untuk kebaikan diri. Hanya karena kelabilan atau kebodohan, larangan itu dianggap masalah. Pelanggaran-pelanggaran tersebut akhirnya mengakibatkan malapetaka.
"Miu, bantu aku meyakinkan Cinta. Aku ingin diakui anak-anak."
"Kali ini kamu harus berusaha sendiri, Miu akan bantu kamu dalam doa. Bagaimana pun, Miu harus menjaga perasaan Cinta, Sayang."
"Aku ngerti, Miu."
Kemesraan anak dan ibu itu terganggu oleh kedatangan Aris. Zio bangun dan mengusap jejak air matanya di pipi. Aris menepuk pundaknya perlahan. Zio tersenyum kikuk. Papa tirinya selalu bisa mencairkan suasana.
"Gimana cewek-cewek Medan?"
Alana tersenyum. Dia pun bangkit meninggalkan Aris bersama Zio. Dia tahu, Aris paling bisa mengembalikan situasi yang canggung menjadi normal kembali. Langkah Alana menuju paviliun, ingin menemui Cinta.
"Nenek, kata Bunda aku punya ayah balu." Gumi menyambut Alana dengan celotehannya. Ayah baru? Alana menatap Cinta yang tersenyum paksa. Dia mendekat.
"Kamu nggak keberatan?"
"Enggak, Miu. Kalau Zio mengakui mereka, kenapa aku harus melarang."
"Kalau gitu, bolehkah sekarang Miu membawa mereka pada Zio?" Cinta mengangguk singkat. Alana tersenyum bahagia. Dia menggandeng tangan kedua cucunya. Gumi yang cerewet dan Berlin yang pendiam. Persis seperti ayahnya.
"Tuh, itu ayah kalian. Coba tanya, dia bawain oleh-oleh apa?"
Gumi melangkah mendekati Zio, tapi Berlin tetap bergeming. Pegangannya pada tangan Alana semakin erat. Sorot matanya tajam menatap Zio dan Gumi.
"Ayo, Sayang. Temui ayah," bujuk Alana. Berlin mengempaskan pegangannya.
"Ayahku cuma satu. Ayahku Ayah Abi, bukan dia."
Berlin berlari keluar. Alana tak mencegahnya. Zio meruduk sedih. Itulah hasil dari sikap buruknya dulu. Kini dia menuai apa yang telah dia tanam. Kesedihan itu berkurang kala tangan mungil Gumi menghapus air matanya.
"Kata Bunda, kita harus tegal. Jangan suka nangis. Halusnya kita menangis jika belbuat dosa."
Zio tertawa mendengar nasihat anaknya yang cadel. Ya, Cinta memang tegar hingga mampu melewati fase terberat. Dia bahkan mendidik anak-anaknya dengan baik. Kenapa pesona Cinta semakin nyata di pelupuk mata. Kenapa tidak dari dulu benih-benih itu tumbuh. Zio menggeleng, mengenyahkan pikiran buruk yang tiba-tiba melintas. Dia tak ingin Cinta menderita lagi. Biarkan perempuan itu bahagia bersama orang yang dicintainya, Abi.
"Ayah, aku mau hadiah dali Ayah."
"Hadiah apa, Sayang? Gimana kalau kita ke mal. Kamu bisa pilih hadiahnya di sana."
Anak kecil itu melombat senang. Alana yang melihat itu ikut lega. Setidaknya salah satu dari mereka sudah bisa menerima Zio. Dia akan membantu Zio merayu Berlin lagi nanti.
"Zio, datangi Piu dan minta maaflah!"
"Tapi, Miu ..."
"Tidak ada tapi, Sayang. Piu begitu karena kamu salah."
Zio mengangguk. Dia melangkah cepat ke ruang tamu. Diperhatikanlah keluarganya satu per satu. Illy sedang bermain dengan Isya. Jasmin membaca buku tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Alex berbicara serius dengan kakek dan nenek. Kiara bermain dengan adiknya Isya yang belum Zio kenal.
"Piu, maafkan aku." Zio melutut di depan Alex. Dipeluklah kaki bapaknya. Alex yang tak menyangka Zio yang gengsinya setinggi langit meminta maaf. Laki-laki itu menoleh, melihat ke arah Alana yang mengatupkan kedua tangannya di dada. Memohon agar Alex menerima maaf Zio. Melihat wajah sendu mantan istri yang masih dicintainya itu, Alex pun mengangguk.
"Bangunlah, Nak. Piu memaafkanmu. Piu hanya kecewa kenapa kamu mengikuti jejak ayahmu yang buruk ini."
Zio tak sanggup berkata-kata. Dia menahan sesak di dada. Tak ingin air matanya menetes lagi. Malu jika menangis di depan banyak orang. Selanjutnya Zio meminta maaf pada Kiara. Mama tirinya itu memeluk penuh kehangatan. Dia juga manusia penuh salah, lantas kenapa tak memaafkan anaknya yang salah arah.
Zio pun berdiri. Dia melirik Jasmin yang masih asyik dengan bacaannya. Dia masih ingat bagaimana tatapan murka gadis itu dulu.
"Jasmin Harumi! Apa aku masih bisa jadi kakakmu?"
Jasmin menutup bacaannya. Dia mendongak, menatap lekat-lekat kakaknya. Dia memperbaiki letak kacamata. Kemudian dia menarik napas pelan.
"Memangnya sejak kapan pertalian darah bisa terputus?"
Zio memeluknya. Gadis itu mendorong tubuh sang kakak agar menjauh. Dia bukan Amarillys yang manja. Dia Jasmin Harumi, gadis mandiri dan tak suka dipeluk-peluk kecuali oleh Alana dan Aris.
Zio tertawa pelan karena sikap Jasmin tersebut. Dia sudah biasa diperlakukan demikian. Zio pun beralih melihat Illy. Entah kenapa gadis itu sesenggukan. Padahal tadi masih tertawa ceria bersama Isya.
"Kamu kenapa, Illy?"
Gadis bermata sipit itu tak menjawab. Dia berdiri dan menabrak tubuh kakaknya. Terisak dalam pelukan Zio.
"Kakak tuh jahat banget, sih. Illy kesepian, tau!"
"Maaf." Zio mengusap lembut kepala Amarillys. "Mau ikut nggak? Kakak mau ajak Gumi ke mal."
Illy mengangguk cepat. Perkara jalan-jalan memang hobinya. Sebelum Zio melangkah meninggalkan ruang tamu, Alex mengembalikan fasilitas yang pernah digunakan dulu. Kunci mobil, akses masuk apartemen, dan kartu debit.
Dia hendak melangkah ke paviliun, meminta izin membawa Gumi. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang memberi salam. Dia menoleh, melihat tamu yang datang. Matanya seketika membelalak saat melihat perempuan yang ditemui di bandara.
"Hai Om, hai. Tante! Kenalin, Saya Vira. Calon istrinya Mas Zio."
"Apaan kamu? Kenal aja nggak, ngaku-ngaku calon istri."
"Ish! Mas Zio gitu deh."
"Ini Gumi, anak saya. Masih nggak percaya kalau saya sudah menikah?"
"Percayalah. Kamu sudah nikah, tapi bentar lagi mantan istrimu jadi pengantin untuk laki-laki lain. Masa kamu mau merana sendiri. Mending terima aku."
"Sinting!" Zio melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu di ruang tamu. Bisa-bisanya Tuhan mempertemukan dia dengan perempuan aneh bin ajaib seperti itu. Zio menarik napas panjang. Entah apa yang akan terjadi dalam kehidupannya ke depan.
🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Istri Bayangan (End)
ChickLitDulu Arti menghilang tepat di hari H pernikahannya. Meninggalkan luka tak berkesudahan bagi Lazio. Saat meratapi nasibnya, Lazio bertemu Cinta yang wajahnya sama persis seperti Arti. Lazio menjauh. Bukan karena dia membenci Cinta. Hanya saja, dia ta...