Arti Cinta ~ 33

6.9K 420 12
                                    

Zio menyeringai saat menyadari ada yang melihat mereka. Jadi, dia tak perlu menjelaskan apapun. Melihat Cinta turut menikmati cumbuannya, Zio berharap Abi dapat memahami perasaan Cinta. Setelah seluit Abi menghilang, Zio mengecup kening mantan istrinya.

"Batalkan pernikahanmu dengan Abi."

Cinta menjauh sembari menggeleng. Dia tak ingin membuat Abi kecewa. Sudah banyak yang laki-laki itu korban untuknya. Laki-laki sebaik Abi tak pantas disia-siakan atau dikecewakan. Lagi pula, Cinta juga tidak tahu hubungan Zio dan Arti sekarang.

"Maaf, Zi. Aku nggak bisa. Anggap saja ini ciuman perpisahan." Cinta bisa melihat Zio tertunduk sedih. "By the way, kamu dan Arti gimana?"

"Malam ini biarkan Gumi dan Berlin tidur denganku."

"Yang ditanya apa dijawab apa." Cinta kesal. Dia menggerutu sendiri karena Zio sudah melangkah pergi meninggalkannya. Pikir Cinta, Zio seperti menghindar dari pertanyaan tentang Arti.

Cinta mengendikkan bahu. Terserah apa maunya, Cinta tak mau peduli lagi. Dia masuk ke kamar, menghidupkan komputer jinjing, kemudian larut dalam revisi naskah.

🍁🍁🍁

Meskipun tamu bulanannya sedang bertandang, Cinta tetap bangun sebelum waktu subuh. Cinta selalu mengingat pesan eyang, bermalas-malasan di waktu pagi itu membuat hidup tidak berkah. Kata pepatah, jangan malas bangun pagi jika tak ingin rezekinya dipatok ayam. Cinta percaya pepatah itu. Karena rezeki bukan hanya tentang uang. Orang kaya yang sering bangun kesiangan tak menyadari kalau rezeki mereka benar-benar dipatok. Keberkahannya dicabut, misalkan.

Saat keluar dari kamar mandi, dia mendapati sebuket bunga mawar merah dan putih tergeletak di atas ranjang. Di sampingnya ada baki berisi secangkir capucino dan sepotong red velved di piring kecil. Cinta mendesah. Pasti perbuatan Zio. Apa sih maunya. Cinta berdecak kesal. Dia mengambil buket bunga tersebut. Ada sepucuk surat di sana.

"Love you, Mantan. Benarlah kata orang, pesona seseorang semakin bersinar kalau sudah jadi mantan."

Cinta menyobek kertas itu lalu dibuang ke tempat sampah. Dia menghirup aroma bunga yang harum. Sayang kalau dibuang katanya. Dia berpikir sejenak. Detik berikutnya dia tersenyum girang. Kemudian dia melangkah ke dapur. Bunga mawarnya dibawa serta.

Dengan cekatan dia melepaskan kelopak mawar. Mawar-mawar yang sudah terlepas tersebut dimasukkan ke dalam panci yang telah diisi air. Mawar itu direbus hingga mendidih. Dia akan menyimpan air mawar tersebut ke dalam lemari es. Untuk dijadikan pembersih wajah atau pelarut masker.

"Kamu sedang apa?"

Cinta agak terkejut mendengar suara tiba-tiba itu. Berlin dan Gumi sudah wangi. Mungkin Zio meminta bantuan Nina, sang pengasuh kedua anak itu yang memandikan mereka. Pikir Cinta dengan sangat yakin.

"Bunda, hari ini Ayah mau ngajak kita jalan-jalan." Berlin berujar penuh semangat.

"Baiklah. Jangan nakal selama bersama Ayah."

"Tapi, Gumi nggak mau ikut kalau bukan Bunda yang temani," lanjut Berlin. Gumi hanya diam. Cinta memandang kesal pada Zio yang menyeringai jahil.

"Ya, sudah. Gumi ikut Bunda. Hari ini Bunda mau ketemu Ayah Abi."

Zio mendengus tak suka mendengar Cinta mencoba memanas-manasinya. Dia akan melakukan segala cara agar Cinta membatalkan pernikahannya dengan Abi. Sungguh, semula dia ingin membiarkan Cinta meraih kebahagiaan bersama laki-laki itu. Karena Zio sangat yakin ada cinta antara Abi dan mantan istrinya. Ternyata dia salah mengira. Jika Jasmin tak membeberkan rahasia hati Cinta, sesal akan terus membayanginya.

Fakta bahwa ada rasa cinta di hati mantan istri padanya, membuat Zio kembali bersemangat. Semangat merebut Cinta dari Abi. Masa bodoh dengan perasaan Abi. Yang dia pedulikan hanya perasaan Cinta. Biar saja dia dianggap jahat.

"Dengarin Bunda, Sayang. Bunda nggak bisa ikut."

Zio melihat Cinta duduk melutut, mensejajarkan tingginya dengan Gumi. Perempuan itu masih merayu agar Gumi mau ikut dengannya. Sayang, Gumi bersikeras ikut dengan Zio. Tentu saja bersama bundanya. Zio menahan tawa. Tak sia-sia dia mengajari Gumi dan Berlin sebelum datang ke paviliun.

"Kalau gitu nggak ada yang pergi hari ini. Kalian berdua bisa bermain dengan Ayah Zio di rumah. Bunda akan pergi sendiri menemui Ayah Abi."

Suara Cinta agak meninggi hingga membuat Gumi menangis histeris. Bunda nggak sayang aku lagi, katanya. Cinta mengusap kasar wajahnya kemudian berlalu meninggalkan dua anak itu bersama sang ayah. Dia sedang kesal pada Zio. Karena dia sangat yakin bahwa Zio yang memerintah anak-anaknya demikian.

Zio menggendong Gumi, berusaha menenangkan. Sia-sia saja. Gumi masih menjerit. Dia melihat pintu kamar Cinta terbuka. Perempuan itu melangkah keluar, melewati Zio dan anak-anaknya begitu saja. Zio menurun Gumi ke lantai. Kemudian mengejar Cinta yang sudah ada di halaman depan rumah utama.

"Kamu pergi begitu saja meninggalkan anakmu yang sedang menangis?"

"Dia nggak akan menangis kalau kamu nggak merencanakan ide busukmu."

"Astaga, Cinta. Aku hanya ingin mereka merasa bahagia dengan kehadiran orang tua. Dan kamu katakan itu ide busuk?"

"Iya. Lebih baik kamu masuk dan menenangkan anak itu. Aku mau pergi ketemu Abi."

Teriakan Zio tak lagi digubris. Taksi yang ditumpanginya telah melaju, meninggalkan Zio yang memaki dan mengumpat tak jelas. Saat Zio kembali ke paviliun, Jasmin sudah berhasil menenangkan Gumi.

"Makasih. Tolong jaga mereka sebentar."

Zio melajukan mobil menuju kediaman Abi. Jika laki-laki itu belum pindah rumah---semoga saja belum, harap Zio sungguh-sungguh. Karena pastinya akan kesulitan menemukan keberadaan Cinta.

Tiba di tekungan kompleks perumahan, dia melihat mobil Abi. Dia mengikutinya. Mobil itu berhenti di depan Butik Amaranthy---butik milik Tante Ros. Cinta dan Abi keluar dari mobil. Mereka di sambut Tante Ros dengan binar bahagia. Zio memukul kemudi hingga tangannya sakit.

Zio terus menunggu. Sejam berlalu, Cinta dan Abi pun keluar dari butik. Zio kembali mengikuti ke mana mobil si Abi bergerak. Mobil itu berhenti di depan sebuha warung. Zio ikut masuk, lalu duduk di meja yang sama dengan Abi dan Cinta.

Mata Cinta membelalak. Oh tidak. Tepatnya melototi Zio dengan tajam. Dia tak akan membiarkan Zio menggagalkan rencana pernikahannya dengan Abi. Bagaimana kalau Zio mengatakan pada Abi tentang ciuman semalam. Oh, jangan sampai itu terjadi. Cinta mendadak getir.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya santai, berusaha agar tidak ketus.

"Aku mengikutimu."

"Dan meninggalkan Gumi menangis?"

"Kamu sendiri kenapa meninggalkan anak yang sedang menjerit. Apa laki-laki ini lebih penting dari anak-anak?"

"Nggak usah sok peduli. Di mana kamu selama ini? Justru Abi yang ada untuk anak-anak, bukan kamu."

"Iya, sekarang aku sudah ada dan nggak akan membiarkan orang lain mengurusi anakku."

"Kamu itu ..."

Bugh!!

Kalimat Cinta menggantung di udara. Zio terpental. Abi menonjoknya. Keras sekali. Abi menarik Zio keluar dari warung. Kemudian terus memukul Zio. Tak ada perlawanan. Seakan Zio membiarkan Abi menghajarnya sampai mati. Cinta tak bisa mencegah meski hatinya ingin menghalangi Abi.

Ketika Zio terkapar dan tak bergerak, Abi pun tersadar akan perbuatannya. Dia mundur beberapa langkah. Mendadak rasa takut menguasai. Kenapa aku tak bisa mengendalikan diri. Rutuk Abi menyalahkan dirinya sendiri. Ya, Tuhan! Wajah Abi memerah dan napasnya seakan berhenti. Kalau terjadi hal buruk pada Zio, dia tak tahu apa yang terjadi pada Alana.

Dia melihat Cinta dan beberapa orang mengangkat Zio, dimasukkan ke dalam taksi. Abi tak mencegahnya. Dia biarkan Cinta pergi membawa Zio ke rumah sakit. Semoga tak terjadi hal-hal buruk yang akan menyulitkannya nanti. Harap Abi berpasrah.

🍁🍁🍁

(Bukan) Istri Bayangan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang