Arti Cinta ~ 25

5.9K 407 40
                                    

Cinta tersenyum di depan cermin. Tangannya mengusap perut yang rata. Dia membayangkan hadirnya sosok mungil yang akan selalu menemaninya kelak. Cinta sangat yakin, dia dan si buah hati akan tetap bahagia meski tanpa kehadiran Zio.

Perempuan yang sedang berbahagia itu melangkah keluar dari kamar. Langkahnya tertuju ke taman. Dia duduk di sana, pada kursi goyang yang sudah menjadi tempat favoritnya. Dibiarkan semilir angin membelai tubuh. Cinta tertidur dalam sandaran pelukan bayangan sang suami. Tak dia izinkan mimpi buruk menyapa.

Suara mobil mengganggu mimpi indahnya. Dia membuka mata. Di sana, di depan rumah utama, bukanlah mimpi buruk, tapi kenyataan. Suaminya menggandeng tangan perempuan yang mirip dengannya. Seorang anak laki-laki dalam gendongan si suami. Binar ceria menghias wajah mereka. Dengan langkah cepat, mereka masuk ke dalam rumah.

Mimpi indahnya kini terempas. Harapan untuk bersama Zio musnah sudah. Dia mengusap perutnya lagi. Kali ini bibirnya tak melengkung ke atas, tapi ke bawah. Dia merasakan netranya memanas. Kemudian bulir-bulir bening itu mulai menetes.

"Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa hidup berdua. Sama seperti mamamu ini yang hanya hidup bersama Eyang."

Cinta mengatupkan kedua bibirnya, menahan kepedihan yang menyerang keterlaluan. Tak ingin ada yang melihat kesedihannya, dia berdiri dan melangkah masuk. Dia membuka lemari, memasukkan baju-baju ke dalam tas. Dia bersiap pergi dari rumah ini. Karena dia sangat yakin, sebentar lagi Zio akan mengulang kata cerai dan mereka akan sah berpisah.

Tak ada yang mencegah takdir. Seperti kata eyang, jadilah dandelion yang pasrah diterbangkan angin. Di mana pun angin menjatuhkannya, dia tak mengeluh. Dia tetap tumbuh dan berbunga meski di tempat yang tak disukai.

Sementara di rumah utama, Alana terpaku menatap anaknya yang masuk bersama perempuan yang serupa dengan sang menantu. Perempuan yang telah meninggalkan anaknya tiga tahun lalu. Alana masih bisa membedakan menantunya dan perempuan ini. Pipi menantunya lebih berisi dan bersinar, sedangkan pipi perempuan ini tirus. Sekarang dia paham, Cinta meminta cerai bukan karena Abi, bukan karena menantunya menyeleweng. Akan tetapi, anak kurang ajar ini yang masih mengharapkan perempuan masa lalunya.

"Apa salah Miu, Nak? Lebih baik kamu tusuk Miu pakai pisau, daripada kamu melakukan ini. Kamu membenci Piu karena pengkhiantan. Yang kamu lakukan sekarang apa namanya, Nak? Ini lebih buruk dari apa yang dilakukan Piu."

"Dengar aku, Miu. Dari awal Cinta sudah berjanji akan bercerai jika Arti kembali atau aku jatuh cinta pada perempuan lain. Aku dan Cinta selama ini hanya bersandiwara, Miu."

"Termasuk menghamilinya?"

Zio terkesiap. Dia seperti di lemparkan dari tempat tertinggi, melayang bebas lalu terjatuh ke dasar jurang. Mulutnya terbuka, tapi tak ada yang mampu diucapkan.

"Terserah kamu, Nak. Miu sudah salah mendidikmu. Silakan pilih jalanmu sendiri. Jika ini memang pilihanmu, ceraikan Cinta."

"Kami sudah bercerai, Miu."

"Perceraian kalian yang lalu tidak sah. Datangi dia dan ulangi kalimat talak."

"Dari mana Miu tahu Cinta hamil? Aku memang nggak berniat menceraikannya. Kalau Miu mau tahu. Tapi, dia menolak dipoligami."

"Kamu yakin sekali dengan poligami. Kamu pikir poligami itu mudah? Yang wajib saja kamu sering lalai, bagaimana kamu mau melakukan sunah seberat poligami. Sunah ringan seperti menjaga wudhu saja kamu tidak mampu, tapi berani sekali melakukan sunah yang berat ini. Otakmu di mana?"

"Lana! Dia baru datang. Biarkan dia istirahat sebentar, Na."

Aris mengusap pundak istrinya, mencoba memberi ketenangan. Dia tahu Alana pasti merasa bersalah dengan kejadian ini. Istrinya pasti kecewa karena merasa gagal menjadi ibu. Sama seperti kasus Ara bertahun-tahun yang lalu.

Benar saja, Alana terisak. Kemudian melangkah meninggalkan Aris dan Zio serta istrinya. Aris berusaha bersikap ramah, menyilakan Arti duduk dan meminta Bi Lina menyuguhkan minuman. Zio terduduk diam. Aris yakin anak itu juga merasa bersalah pada Alana. Tapi semua sudah terjadi. Mau bagaimana lagi. Tak ada pembicaraan setelah kepergian Alana. Hanya celotehan Kazuya menemani mereka.

Sementara di Paviliun, Alana memeluk erat menantunya. Isakannya terdengar memilukan. Cinta berusaha kuat agar tak ikut menangis bersama sang mertua.

"Maafin Miu, Nak. Miu sudah salah memahami kamu. Maafin Miu."

"Cinta memang salah, Miu. Jadi Miu nggak usah minta maaf."

"Zio menolak menceraikanmu. Miu tahu, Zio gegabah melakukan poligami. Tapi, kamu juga nggak bisa minta cerai tanpa alasan yang syar'i. Hukum Islam tidak mengandalkan perasaan."

"Alasan Cinta syar'i, Miu. Dia kembaran, Cinta."

"Maksud kamu?"

Kemudian mengalirkan cerita Cinta seperti yang dituturkan Ibu Sri padanya. Dia menceritakan semuanya, kecuali alasan Arti pergi meninggalkan Zio tiga tahun yang lalu. Dia tak ingin dianggap pembohong atau memfitnah saudaranya sendiri. Biarkan waktu yang menjawab atau Tuhan tetap merahasiakannya. Toh, segalanya diatur Tuhan. Terungkap atau tidak kebohongan Arti, Tuhan pasti tahu mana yang terbaik untuk seluruh hamba-Nya.

"Biarkan Zio bahagia, Miu. Hanya Arti yang benar-benar bisa membuatnya bahagia."

Alana mengusap air matanya. Dia tak mengira jika menantunya menanggung beban kepedihan selama ini. Bahkan tak membela diri meski dituduh sebagai yang tersalah. Berkorban demi cinta. Ah, Alana masih mengingat nasihat mertuanya. Sayangi diri jauh lebih berharga daripada mengorban diri pada orang yang jelas-jelas memberi luka.

"Kenapa kamu beres-beres, Cinta?" tanya Alana kala melihat pintu lemari terbuka. Isinya telah kosong. Ada tas besar tergeletak di atas lantai. Alana menoleh, menatap Cinta yang berpura-pura tegar.

"Miu tidak ingin kamu pergi dari sini. Selamanya kamu tetap anak Miu. Tolong, jangan tinggalkan Miu, Nak. Miu akan membayar semua kesakitanmu. Miu akan melepaskanmu jika ada laki-laki baik yang meminangmu."

Alana bersimpuh, memohon agar Cinta tetap tinggal di rumahnya. Rasa bersalah karena anaknya gegabah dalam bertindak kian membesar.

"Iya, Miu. Cinta akan tetap di sini sampai habis masa iddah. Bukankah itu Miu katakan?"

Alana menggeleng. "Miu ingin kamu jadi anak Miu selamanya. Kamu akan keluar jika Abi atau laki-laki baik lainnya menikahimu."

Cinta pun mengangguk karena tak ingin melihat mertuanya menangis lagi. Sebab mertua selamanya tidak akan pernah berstatus mantan. Alana pamit. Cinta kembali memasukkan bajunya ke dalam lemari.

"Cin!"

Tanpa Cinta menoleh pun, dia sudah tahu suara yang memanggilnya itu. Dia masih sibuk memasukan baju-bajunya, pura-pura tak mendengar. Langkah Zio mendekat. Jantung Cinta bertalu tak keruan.

"Kamu benaran nggak dengar?"

Cinta berbalik dan pura-pura terkejut. "Eh, kamu sudah pulang? Gimana? Apa kamu sudah menikahi Arti?"

"Apa kamu memang ingin kita berpisah? Aku bisa adil, kok, Cin. Kamu kan sedang hamil."

"Sekarang aku tanya. Andai kamu diharuskan memilih antara Arti dan aku, siapa yang kamu pilih?"

Zio terdiam. Dia merunduk. Tidak bisa memilih. Arti penting bagi hatinya. Cinta juga penting, entah untuk apa. Tapi, dia benar-benar tak rela jika melepaskan Cinta.

"Udah, nggak usah mikir." Cinta mengusap pundak Zio. Dia tersenyum lebar. "Aku ini tetap sahabatmu. Kamu bahagia, aku sudah pasti senang. Ingat, kita kan sahabat selamanya."

Cinta menekuk empat jari, menyisakan jari kelingking yang menegak di depan Zio. Laki-laki itu pun terpaksa senyum dan menautkan kelingkingnya pada kelingking Cinta. Perjanjian untuk jadi sahabat selamanya.

Zio memeluk Cinta. Erat. Kemudian mengecup kening, bibir, dan perut Cinta yang bersemayam darah dagingnya. Matanya berkaca-kaca. Dia pun pamit setelah mengucapkan kalimat talak sekali lagi. Begitu sosok Zio menghilang, tubuh Cinta merosot ke lantai.

"Usai sudah."





(Bukan) Istri Bayangan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang