°• [07] Shut Up, Haru!

11.6K 2.1K 237
                                    


Dear Haruto

"Aku pulang aja deh, kak"

Aku menautkan alisku ketika dengan tiba-tiba Junghwan berdiri sambil menenteng laptopku kasar. Ku lirik jam dinding yang menempel di dinding, sudah jam sembilan malam.

"Pulang sama siapa?" Tanyaku. Oh, ya. Ngomong-ngomong, sedari Rachel pulang pukul setengah sembilan tadi, Haru tidak keluar dari kamarnya. Mungkin dia kelelahan.

"Sama Kak Junkyu aja" jawab Junghwan. Aku hanya berdecih pelan kemudian tertawa. Bisa-bisanya dia memanfaatkan Junkyu.

"Ya udah, hati-hati ya!"

Aku menutup pintu utama dengan kasar kemudian mendengus. Huh, tiba-tiba aku kepikiran Jennie. Sialan sekali, aku ingin mengumpat pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku sedarah dengan manusia sepertinya?!

Huh, aku menghela napas panjang kemudian duduk di sofa ruang tamu. Aku menundukkan kepalaku. Sepertinya, aku harus tidur. Malam minggu yang menyedihkan.

•••

"Minggu depan reuni angkatan kita. Datang, ya!"

Aku mendengus kasar ketika mendengar Lunar yang terkekeh dari sambungan telepon.

"Harus dateng! Emang lo gak kangen apa sama Haruto? The real buceen?"

"Iya, gue dateng" lirihku. Tentu saja aku akan datang ke acara reuni itu. Ku dengar, Lunar terkekeh geli lagi. Huh, dia menyebalkan, ya.

"Oh, ya, Han! Lo inget kapan terakhir gue nelpon lo? Kan gue udah bilang, gue bakal ke kostan lo beberapa jam lagi. Lah, kok lo gak ada sih?! Untung ada cowok ganteng nan ramah bantuin gue"

"Oh, ya?"

"Iya! Dia ngajak gue ngobrol di teras rumahnya yang di seberang kostan lo. Ih, gila ganteng, njir!"

Aku menghela napas kemudian terkekeh. Pasti yang Lunar maksud adalah Junkyu.

"Lo suka sama Junkyu?"

"Hah? Namanya Junkyu, ya? Um... gue sih cuman sekedar kagum sama dia"

"Gimana sih lo! Kalo lo kagum sama seseorang, berarti lo cuman menganggumi kelebihannya. Dan kalo kelebihannya udah gak ada, lo gak bakal kagum lagi sama dia!"

"Berarti, Haruto ke lo itu bukan cuman sekedar kagum, kan?"

"Bahas Haru-"

JLEP!

Lampu di kamarku tiba-tiba padam. Hampir semua penjuru kostan gelap. Aku terkesiap tatkala melihat kilatan petir dan berakhir dengan suara guntur yang memekakkan telingaku. Aku pun mematikan sambungan teleponku pada Lunar.

Aku meringkuk, sumpah aku ketakutan sekarang.

GLEDEK!

Aku memeluk lututku yang kutekuk sambil menundukkan kepala. Tiba-tiba, aku mendengar suara decitan pintu kamarku yang terbuka.

"HANNA!"

JLEP!

Aku merasakan ada seseorang yang memelukku. Ia menenggelamkan wajahnya di tengkuk kananku. Rambutnya membuat pahaku geli.

"Ini Haru"

Aku menghela napas lega tatkala kuketahui bahwa yang memelukku sekarang adalah Haru.

"Har, gue mau nyalain lilin nih. Jangan peluk gue, napa?!" Rontaku. Haru justru semakin mengeratkan pelukannya padaku.

Setelah cukup lama saling melempar argumen pada suasana yang membuatku seakan buta, akhirnya Haru mau melepaskan pelukannya dariku juga. Ya, walaupun tetap saja dia memeluk erat lengan kananku.

"Mau tidur gak?" Tanyaku. Haru mengangguk pelan, kemudian kami yang semulanya berada di ruang tamu berjalan menuju kamarku. Aku yakin, pasti Haru ketakutan jika harus tidur di kamarnya sendiri.

Aku memegang sebatang lilin di tangan kiriku sedangkan tangan kananku dipeluk erat oleh Haru. Bahkan ia harus sedikit membungkuk karena tubuhnya yang lebih tinggi dariku.

Sesampainya di kamarku, aku pun menaruh lilin itu di atas nakas di samping kanan tempat tidur. Haru merebahkan dirinya di bagian kiri kasur yang menghadap dinding, sedangkan aku di sebelahnya, berdekatan dengan lilin.

"Tidur udah!" Suruhku. Di keremangan malam, ku lihat Haru telah memejamkan matanya. Karena aku tidak ingin kostan ini kebakaran, maka dari itu kutiup lilin satu-satunya yang menerangi kami.

GLEDEK!

"Aaaaaaaaakkhh!"

Dengan sangat-sangat terpaksa, aku kembali menyalakan lilin itu karena Haru yang berteriak gara-gara suara petir.

"Tidur, Har. Tidur!" Suruhku seraya mencoba melepaskan pelukan Haru. Ya, dia memelukku karena ketakutan.

Akhirnya, Haru kembali ke posisi semula. Matanya belum mau terpejam, jadi aku pun membiarkan lilin tetap menyala. Meskipun aku harus tetap terjaga dalam tidurku.

"Han, itu suara apa, ya?"

Aku melenguh, mataku benar-benar ingin terlelap. Suara tetesen air hujan yang jatuh menumbuk genteng dan decitan dari antena luar membuat Haru tidak bisa tertidur.

"Tidur, Han"

GLEDEK!

"HANNNAAAA!"

•••

Aku membuka mataku perlahan ketika mendengar suara alarm ponsel. Tanganku menyusuri nakas kemudian mengambil ponsel dan mematikan alarmnya.

Aku mendudukkan diriku, merapikan rambutku yang kusut kemudian menoleh ke arah kiriku.

"Haru?"

Aku bingung ketika tidak menemukan Haru di kamarku. Mencoba berpikir positif, aku berpikir mungkin saja ia sudah kembali ke kamarnya dan bergegas mandi. Bahkan, lilin di kamar telah padam dan gorden kamarku telah terbuka.

Setelah selesai mandi, aku mengambil ponselku. Aku terkejut ketika mendapati tiga panggilan tidak terjawab dari Junghwan. Merasa khawatir, aku pun mencoba menghubunginya balik.

"Halo, dek? Kena-"

"Kak, mamah, kak! Mamah masuk rumah sakit!"

Aku segera melangkahkan kakiku seraya memasang hoodie dan memasukkan beberapa barang ke dalam slingbag. Kemudian, aku berlari menuruni anakan tangga dan menemukan Haru yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan.

"Han? Sarapan dulu yuk" ajaknya. Aku hanya menggeleng kemudian mengambil sepatu flat ku di rak sepatu.

"Enggak, Har. Gue harus buru-buru ke rumah sakit. Mamah gue sakit" jawabku. Setelah selesai, aku hendak bergegas keluar kostan. Namun, niatku urung karena...

"Eh, Har. Tumben pake turtle-neck?" Tanyaku. Ya, tumben saja aku melihat Haru menggunakan sweater berkerah seperti itu. Biasanya ia hanya memakai kaos longgar seperti laki-laki. Ya, dia sedikit tomboy.


Dear Haruto
To Be Continued

Dear Haruto ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang