13

383 71 3
                                    

"Sudah, tidak apa. Bukankah keluarganya sudah memaklumi tindakanmu?"

"Iya, mas. Tapi tetap saja, aku merasa bersalah."

"Jangan merasa bersalah begitu. Setidaknya sekarang mereka sudah mengetahuinya."

"Iya. Tapi yang mereka tahu hanya bahwa mereka berteman, tidak lebih."

"Kalau begitu, beritahu mereka bahwa dia berpacaran."

"Mana mungkin aku melakukan hal itu. Lagi pula bagaimana caranya?"

"Kamu tinggal mengatakannya saja. Apa susahnya?"

"Tapi aku tidak ingin melihatnya dimarahi, mas. Keluarganya menentang keras hubungan seperti itu."

"Lalu apa kamu ingin dia berdosa terus menerus?"

"Tidaklah, mas."

"Maka dari itu, beritahu keluarganya. Agar mereka bisa mengingatkannya."

"Sudah aku katakan bukan. Aku tidak mau dia dimarahi. Sudah dimarahi, disuruh putus, lalu sakit hati. Lengkap sudah penderitaannya."

"Keluarganya tidak akan memarahinya. Bukankah setelah mereka tahu bahwa lelaki itu kristen, mereka sama sekali tidak marah?"

"Itu beda perkara, mas. Itu tentang berteman dengan kristen. Sedangkan ini. Ini tentang pacaran, mas. Pacar saja sudah dilarang. Apalagi dia berpacaran dengan dia yang berbeda agama. Hubungan beda keyakinan."

"Iya juga, ya."

"Iya."

"Kalau begitu ingatkan saja dia. Bujuk dia agar mengakhiri hubungannya. Sekalipun tidak berbeda keyakinan. Bukankah dalam islam memang tidak ada hubungan seperti itu."

"Iya. Aku tahu, bahwa kita umat islam dilarang berpacaran."

"Gunakan alasan itu saja. Bukankah setiap kali kamu mengingatkan dengan alasan beda agama dia selalu menghindar. Maka katakan padanya. Bahwa islam tidak mengajarkan untuk berpacaran."

"Benar. Astaga, kenapa aku baru menyadarinya, ya. Padahal itu adalah alasan paling utama. Islam melarang kita untuk pacaran."

"Jadi kamu belum pernah mengingatkan dia dengan alasan itu?"

"Belum. Belum pernah sama sekali. Setiap mengingatkannya, aku selalu menyinggung tentang perbedaan agama. Tidak pernah terpikir olehku tentang ini. Terima kasih, mas. Mas Jin memang yang terbaik. Tidak salah aku memilih mas Jin sebagai konselor ku."

"Hahaha... Kamu bisa saja."

Jinendra Yusuf, atau yang lebih akrab dipanggil Jin oleh Jiho, telah menjadi tempat curhatnya. Setelah pertemuan keduanya saat makan siang dirumah makan padang kala itu. Jiho menjadi lebih akrab dengan Jinendra.

Jiho merasa Jinendra adalah orang yang tepat untuk dimintai pendapat, dan tempat curhat. Jinendra merupakan orang yang amanah. Dia orang yang mampu menjaga rahasia. Karena itu Jiho merasa nyaman menceritakan masalahnya pada Jinendra. Lebih tepatnya masalah sepupunya.

.
.
.

"Apa kelas masih berlangsung?" tanya Jiho pada salah satu mahasiswa yang kebetulan tengah berdiri didepan kelas yang dimaksud.

"Iya."

"Apa masih lama?"

"Tinggal 20 menit lagi kelas ini bubar. Apa kamu sedang menunggu seseorang?"

"Ah... Iya."  jawab Jiho merasa tidak yakin akan jawabannya.

Setelah berbicara dengan Jinendra tadi. Jiho berniat menemui Natae. Dengan perasaan yakin dan tidak yakin, Jiho ingin mengatakan apa yang telah dibicarakan dengan Jinendra tadi.

Katedral dan IstiqlalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang