17

345 66 7
                                    

"Subhanallah... Siapa ini? Cantik sekali." puji pemuda pada seorang gadis dihapannya.

"Dia adalah calon pendamping yang diinginkan setiap lelaki muslim, mas." jawab pemuda kedua yang ada disana.

"Mas... Jangan meledekku." rajuk gadis itu, yang merasa pujian yang diberikan kedua pemuda tersebut adalah untuk meledek dirinya.

"Mas tidak meledek. Kamu sungguh cantik hari ini. Dengan hijab yang menutup rambutmu. Kamu terlihat benar benar seperti seorang muslimah yang sungguhnya." kata pemuda pertama.

"Memang selama ini aku bukan muslimah?" tanya gadis tersebut tidak terima dengan penuturan sang pemuda.

"Bukan begitu. Hanya saja, jika kamu tampil dengan pakaian seperti ini. Itu sangat berbeda." ujar pemuda itu seraya menunjuk pakaian yang dikenakan gadis itu, gamis dan hijab syar'i.

"Pakaian seperti ini, sudah seperti identitas bagi para muslimah." lanjut pemuda tersebut.

"Jika kami bukan sepupu. Aku akan meminta ayah meminangnya untukku. Aku sudah jatuh cinta saat dia keluar kamarnya tadi, mas. Beruntung aku tidak khilaf." tutur pemuda kedua.

"Aish... Mas Jihop jangan melantur." kesal gadis tersebut pada pemuda kedua yang merupakan Jiho itu.

"Sungguh, Nin. Kamu terlihat seperti tipe idamanku, perempuan berhijab." tutur Jiho.

"Kalau begitu, dia juga tipe idamanku. Aku juga menyukai gadis berhijab." tutur pemuda pertama.

"Mas Jun, jangan ikut melantur juga." kesal sang gadis yang merupakan Rahanin pada sang kakak, Rahajun.

Rahanin mendapat banyak pujian ketika dia datang mengenakan hijab. Bukan karena perintah dari sang paman, yang menyuruhnya untuk datang mengenakan hijab. Tetapi itu sudah menjadi keputusan Rahanin sendiri. Karena sebelum pamannya mengatakan itu, Rahanin sudah memiliki inisiatif untuk datang keacara syukuran sang paman dengan mengenakan pakaian tertutup, dengan hijab tentu saja.

.
.
.

Rumah keluarga Jiho terlihat ramai. Para undangan terlihat memenuhi ruang dirumah itu. Acara syukuran sudah dimulai sejak beberapa menit yang lalu.

"Assalamualaikum..." salam seorang pemuda pelan ketika melihat acara sudah dimulai.

"Wa'alaikumsalam... Oh, Nendra." jawab salam wanita parubaya yang menyambutnya.

"Iya, tante. Maaf saya telat." sesal pemuda yang dipanggil Nendra tersebut.

"Ah... Tidak apa. Mari masuk, Ndra."

"Terima kasih, tante."

"Suamiku sedari tadi sudah menunggu." tutur wanita parubaya yang ternyata istri dari pemilik acara, sekaligus ibu dari Jiho.

"Benarkah, tante?"

"Iya, benar. Dia mengira kamu tidak akan datang." jawab ibu Jiho seraya berjalan menuju ruang yang menjadi pusat acara, dengan diikuti pemuda bernama Nendra disampingnya.

"Maaf sudah membuat kalian menunggu." sesal pemuda yang dipanggil Nendra itu sekali lagi.

"Tidak masalah. Yang penting sekarang kamu sudah datang."

"Sepertinya disana sudah penuh. Tidak apa bukan jika kamu duduk disini?"  lanjut ibu Jiho, saat melihat ruangan pusat acara sudah terisi penuh oleh tamu undang.

Ibu Jiho mempersilahkan Nendra untuk duduk diruang depan, yang menghadap langsung tempat acara, dan masih bisa melihat acara tersebut berlangsung.

"Tidak apa, tante. Saya bisa duduk disini."

Katedral dan IstiqlalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang