Satu - Kiasta Aninda

134 17 20
                                    

Kiasta Aninda tidak pernah melirik cowok manapun seperti cewek lainnya. Asta lebih senang menghabiskan banyak novel daripada berpacaran. Menurut Asta semua cowok itu sama, Berengsek, seperti ayahnya yang menikahi wanita lain tanpa sepengetahuan bunda dan dirinya.

"Arin, gue kayaknya nggak ke kantin deh."

Arin menoleh ke arah Asta dengan bingung, tapi akhirnya meninggalkan Asta di kelas sendirian. Karena memang sekarang jam istirahat, kelas sedang sepi.

Memasuki halaman terakhir novel yang sedang dibacanya, Asta menghembuskan nafas pelan dan merentangkan tangannya. Rasanya pegal sekali dari pagi membaca sampai jam istirahat kedua. Kelasnya dari pagi hanya berisi jam kosong. Katanya sih, guru-guru sedang rapat. Entah apa yang di rapatkan dia tidak perduli, yang penting dirinya sudah selesai menamatkan novelnya hari ini.

Melangkah keluar kelas untuk membeli minum karena sungguh tenggorokannya terasa kering sekali. Saking hausnya Asta melangkah terburu-buru seolah sedang di kejar waktu padahal jam istirahat masih lama.

"Aduh!"

"Eh maaf."

Asta meminta maaf kepada orang yang baru saja di tabraknya saking tidak fokusnya karena terlalu haus. Sedangkan orang yang di tabrak tersenyum memaafkan.

"Maaf sekali lagi ya, dek." Asta merasa tidak enak karena tiba-tiba menabraknya. Mana yang di tabrak adik kelasnya sendiri. Malu rasanya.

"Nggak papa kak." Adik kelasnya tersenyum.

"Lagian kamu lagi ngapain sih kok berdiri di tengah-tengah jalan?"

"Loh, kakak gatau ya?"

"Gatau apasih?" Asta merasa bingung dengan adik kelasnya, memangnya apa yang tidak Asta tahu?
Menatap sekeliling dan baru menyadari bahwa bukan hanya adik kelas yang baru di tabraknya tadi yang berada di tengah-tengah jalan tapi hampir satu kelas mungkin. Tidak. Ini kerumunan. Memangnya ada apa kok banyak kerumunan?

"Itu loh kak, kak Daniel si most wanted lagi nembak Sanin di lapangan."

Lagi?
Asta menghembuskan nafasnya kasar. Kenapa sih dirinya selalu datang atau selalu menemukan orang-orang yang sedang jatuh cinta persis seperti novel yang baru di bacanya. Dan apa-apa an itu, menyatakan perasaan di tengah lapangan dan di saksikan banyak siswa dan siswi? Sekalian aja kalo mau putus di tengah lapangan biar disaksikan banyak orang. Ih dasar bucin.

"Oh. Yaudah dek, kakak pergi dulu ya."

Rasanya rasa haus yang tadi melanda hilang karena mereka yang sedang jatuh cinta.
Asta bukanya tidak suka mereka merasakan jatuh cinta, dirinya hanya sedikit jengah dengan para cowok.
Karena cinta pertama Asta merapuhkan kepercayaannya, sehingga menimbulkan rasa takut soal cinta. Makanya, dia membatasi soal itu.

Melangkah lagi ke kelas melupakan rasa hausnya. Sesekali tersenyum saat ada beberapa adik kelas yang mengenalnya.

"Kiasta!, astaga lo tau ga? Tadi tuh daniel keren parah waktu nembak sanin. Gue kan mau juga jadinya."

Arin, teman sebangkunya, tiba-tiba sudah berada di samping Asta dengan suara cemprengnya. Memutar bola matanya jengah lalu tersenyum manis ke arah Arin dan berkata, "Arin, lo mau pilih jatuh dari lantai 3 ini kerena gue dorong atau lo loncat sendiri?"

Arin meneguk ludahnya kasar. Asta memang kadang menyeramkan seperti tokoh antagonis yang selalu mamanya tonton.

"Calm down, ta." Ucap Arin sambil nyengir.

"Kenapa sih? Kesel karna jadi saksi cinta orang lain dari smp? Bukanya lo yang milih sendiri?" Cerocos Arin.

Asta tidak menanggapi Arin dan melanjutkan jalannya masuk ke kelas yang tadi tertunda akibat teriakan Arin.

"Atau jangan-jangan lo mau jadi pemeran utama ya, ta?!"

Mencubit pipi Arin dengan keras lalu berkata, "lama-lama lo, gue bunuh terus gue potong-potong jadi sepuluh bagian dan gue jual daging lo di pasar!."

Kesal. Tentu saja. Sahabat dari kecilnya ini selalu menyinggung soal dirinya yang selalu menjadi saksi kisah cinta orang lain dan berakhir menuduh dirinya ingin menjadi pemeran utama.

Memikirkannya saja tidak pernah. Bagaimana bisa dia menginginkan menjadi pemeran utama. Lagipula, dirinya sudah nyaman dengan keadaan ini walaupun kadang jengah sendiri.

"Perhatian, untuk murid Sma Erlangga di mohon untuk membereskan barang-barang kalian, karena sekolah sedang mengadakan rapat darurat maka sekolah di pulangkan sementara."

Pengumuman lewat speaker sekolah tersebut dijawab dengan sorakan gembira dari para murid termasuk Asta.
Asta bergegas membereskan buku yang berada di atas meja kedalam tas nya. Rasanya senang sekali bisa pulang secepat ini. Asta sudah memikirkan list judul novel yang akan dibacanya hari ini.
Jujur saja, Asta bukanlah tipikal murid rajin. Dia hanya murid biasa yang menyukai jam kosong dan pulang cepat seperti pengumuman tadi.

Setelah merasa bahwa tidak ada yang ketinggalan Asta berjalan keluar kelas dengan memandang sinis Arin yang ikut berjalan disampingnya.

"Gue masih marah sama lo. Jauh-jauh sana."

"Jangan gitu dong ta." Arin memasang wajah memelas sambil tangannya menggoyang-goyangkan lengan Asta.

"Amit-amit hih." Menoyor kepala Arin lalu berlari ke arah gerbang sekolah karena melihat supir pribadinya sudah menjemputnya.
Mungkin wali kelasnya yang menghubungi supirnya bahwa sekolah di pulangkan cepat. Jadi, wajar saja jika dirinya sudah di jemput.







TBC.

Maaf buat permulaan yang amburadul.
Azanya belum keluar jadi tungguin aja wkwk..

Sebenernya pusat dari cerita ini ya si Aza nya bukan di Asta. Pokoknya gitu deh😂😂
Tolong dukungannya....

Different BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang