Sekarang adalah jam istirahat, Asta dan Sania seperti biasa membaca novel di taman dengan di temani minuman dan cemilan.
"San?" Panggil Asta.
Sania berdehem kecil sebagai respon panggilan Asta lalu kembali fokus dengan novelnya lagi.
Asta yang melihat Sania begitu acuh pada dirinya hanya menghembuskan nafasnya kasar lalu berkata, "ngeselin!"
"Siapa?" Tanya Sania, namun matanya masih saja fokus pada novelnya.
Tidak tahu saja jika Asta sedang menahan tangisnya.
"Lo tuh ngeselin banget sih huwaaa..." tangis Asta.
Sania langsung melihat ke arah Asta yang tiba-tiba menangis. Kelabakan sendiri ketika banyak siswa yang melihat ke arahnya, seolah-olah dirinya yang membuat Asta menangis.
"Ta, hei.." paniknya.
"Jangan nangis dong, dikira gue ngapa-ngapin lo!"Sania berusaha menenangkan Asta yang masih saja menangis, walaupun tangisannya tidak sekencang pertama tadi.
Asta mengatur nafasnya, berusaha menghentikan tangisannya sendiri. Entahlah, Asta juga tidak tahu kenapa dirinya tiba-tiba menangis.Sejak kejadian waktu jam olahraga tadi pagi, Asta merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Merasa bersalah dengan Aza.
"Aza sialan!" Umpat Asta tiba-tiba.
Sania hanya mengernyitkan dahinya bingung, namun memilih acuh dan berusaha menenangkan Asta lagi.
Setelah beberapa menit tangisan Asta pun reda, dan mereka memutuskan kembali ke kelas karena jam pelajaran sebentar lagi akan di mulai.
***
Selama pelajaran berlangsung, Asta sama sekali tidak fokus pada pelajarannya. Ia tidak pernah segalau ini tentang perasaan, biasanya ia akan bodoamat.
Asta hanya merasa kalau Aza adalah cowok yang berbeda. Keinginan menjadi pemeran utama muncul ketika Eka mengucapkan bahwa Aza menyukainya. Apakah sudah seharusnya Asta mencoba membuka hatinya seperti yang di katakan Arin?
Sekarang, Asta sedang berjalan ke arah halte bus yang memang tidak jauh dari sekolahnya. Ia memutuskan untuk menaiki bus daripada di antar jemput. Sedangkan Bian sudah di belikan motor oleh Bunda.
Dari arah belakang, Asta dapat mendengar suara deru motor. Sebenarnya ia sudah mendengarnya dari sebelum ia keluar di gerbang sekolah. Suara motor itu pelan, seakan-akan sedang mengikutinya.
Karena kesal, Asta pun membalikan tubuhnya dan mengernyit ketika melihat Aza yang sedang berada di atas motornya yang masih menyala.
"Saya ketahuan, ya?" Katanya dengan wajah datar seperti biasanya. Sepertinya Asta mulai terbiasa dengan wajah datar Aza mulai sekarang.
"Lo ngapain?" Tanya Asta.
"Saya sedang menjaga kamu."
Asta semakin memandang Aza bingung. Benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
"Lo bukannya marah sama gue ya?"
Aza menggeleng lalu berkata, "saya tidak bisa marah dengan kamu."
Dalam hati Asta merasa lega mendengarnya. Memandangi Aza yang memang hanya berjarak dua meter dari dirinya.
Asta masih memandang Aza dalam diam sampai akhirnya menemukan Aza menepuk murid lain yang sedang lewat di sampingnya."Saya boleh minta tolong?" Tanya Aza pada siswa itu dengan cara berbisik, namun Asta masih mampu mendengarnya.
"Duh, gue udah di jemput nyokap nih." Jawab siswa itu.
"Sebentar saja."
Siswa itu menghela nafasnya kasar lalu mengangguk, setelahnya bertanya soal harus bagaimana untuk membantunya.
"Tolong mintakan nomer ponsel Asta." Siswa itu mengernyit. Siapa yang tidak tahu Kiasta Aninda siswa pindahan yang mempunyai senyum manis. Kepindahan Asta di sekolahnya sempat menghebohkan dan beberapa siswa ingin mendekatinya namun sayang, Asta sangat cuek.
"Maksud lo, Kiasta Aninda anak ipa?" Tanyanya berbisik.
Aza mengangguk.
"Kenapa nggak lo aja sih, kan dia ada di depan lo?"
"Saya kan tidak setampan dan seberani kamu." Siswa itu tersenyum, jarang sekali kan melihat seorang Reaza Fauzan mengatakan orang lain tampan. Itu perlu di apresiasikan.
Sedangkan Asta tersenyum sambil memperhatikan Aza yang menyerahkan ponselnya ke siswa itu.
"Jangan kamu lihat dan curi nomer ponselnya! Nanti saya bawa kamu ke gengnya Ardian." Siswa itu hanya meneguk ludahnya. Well, geng Ardian itu geng yang suka bikin rusuh dan ngebully.
Aza memperhatikan bagaimana siswa itu menyerahkan ponselnya ke Asta dan Asta mengambil ponsel itu dan mulai mengetik nomernya.
Asta merasa ia harus mulai menerima dan membuka hatinya. Ia berharap dengan memberikan nomer ponselnya ke Aza, akan menjadi permulaan yang bagus. Semoga Aza tidak mengecewakan kepercayaannya.
Siswa itu kembali lagi ke arah Aza dan menyerahkan ponselnya. Melihat jika ada nomer ponsel Asta di ponselnya, ternyata dirinya tidak di tolak. Bahagia sekali.
"Terimakasih, nanti saya suruh Vindo traktir kamu."Aza mengegas motornya hingga berada tepat di samping Asta.
"Boleh saya tagih jaket saya? Besok, di depan rumah kamu." Katanya lalu melenggang pergi dengan motornya.
Asta bingung, di depan rumahnya?
Memangnya Aza tahu darimana rumahnya, Sania saja belum tahu dimana rumah neneknya.Mengedikan bahunya acuh lalu mulai melanjutkan jalanya ke arah halte bus.
Selama menunggu bus datang, Asta mengingat kembali bagaimana pertemuan awalnya dengan Aza yang hanya memanggil namanya lalu pergi, mengatakan menyukainya lewat Eka, dan sekarang meminta nomer ponselnya lewat orang lain.
Asta merasa kedua pipinya panas ketika mengingat itu semua. Aza berbeda dari cowok lain yang di temuinya. Aza memiliki cara yang unik untuk mendekatinya.
Sempat terpikir, apakah Aza juga melakukan hal yang sama dengan cewek-cewek lain di luar sana.
Asta menggeleng, mengenyahkan pikiran tersebut dan terus meyakinkan hatinya jika ini awal yang bagus sebagai permulaan dirinya membuka hatinya.
Nanti malam Asta akan telpon Arin!
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Boy
Teen FictionMelihat kehidupan orang tuanya, Asta memilih untuk tidak jatuh cinta. Dirinya lebih memilih menjadi saksi cinta orang lain, yang menurutnya mirip sekali dengan novel yang selalu di bacanya. Disaat Asta sudah terlampau nyaman dengan caranya, takdir m...