Asta melangkah riang memasuki gerbang sekolahnya dengan tangan yang membawa paper bag berwarna merah dan juga bibir yang tidak pernah berhenti untuk tersenyum.
Tingkahnya itu mengundang tatapan aneh dan kagum dari siswa lainya. Terutama Sania, sahabat barunya."Lo lagi enggak kesurupan kan, Ta?" Tanyanya cemas.
Asta menggeleng sambil tersenyum, membuat Sania meringis melihatnya.
"Sekarang jam kosong kan sampai istirahat?"
Sania mengangguk, "iya."
"Gue pergi dulu ya!"
Sania ingin bertanya, namun urung ketika Asta sudah berjalan menjauh dengan menenteng paper bag yang sampai sekarang Sania tidak tahu isinya apa. Entahlah, Asta sedikit aneh, atau memang sebenarnya Asta sudah aneh?.
Sedangkan orang yang dipikirkan Sania sedang berjalan santai sambil sesekali menyapa dan tersenyum kepada siswa yang berada di depanya
Rasanya bahagia sekali, katanya.
Asta belum pernah merasa sebahagia ini hanya karena seorang lelaki. Entahlah, semenjak mendengarkan saran Arin untuk menerima semuanya, ia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang, ditambah tadi pagi bunda memberikan bekal makanan sambil berkata, "ini makanan buat Aza. Bunda tahu kamu tidak semudah itu membiarkan seorang lelaki datang ke rumah kecuali kalau kamu sendiri yang mengizinkannya. Oh iya, ngomong-ngomong Aza ganteng loh, kamu bisa juga milihnya." Dengan suara yang menggodanya.
Mengingat itu membuat Asta kembali merona dengan perlakuan Aza padanya. Ia harap hanya dirinya yang di perlakukan seperti itu oleh Aza.
Di tengah perjalananya, Asta menemukan Eka dan memutuskan menghampirinya.
"Hai, Eka."
Eka yang merasa terpanggil pun menoleh lalu kemudian tersenyum ketika mendapati Asta yang memanggilnya, "kenapa?"
Asta menggigit pipi bagian dalamnya, merasa ragu dan malu untuk bertanya kepada Eka perihal Aza. Namun, rasa penasaranya mengalahkan semuanya, "gue boleh tau soal Aza nggak?" Tanyanya dengan suara pelan.
Eka tersenyum, kemudian menyuruh Asta untuk duduk di sampingnya, "soal apa?"
"Apapun." Jawab Asta.
Eka menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, mencoba berpikir hal apa yang harus ia kasih tau soal Aza kepada Asta.
"Sebenernya gue cape, Ta, di suruh-suruh sama Aza."
Asta mengernyitkan dahinya bingung, "disuruh-suruh bagaimana?"
"Aza selalu nyuruh gue ngawasin lo disaat dia nggak bisa ngawasin lo sendiri." Eka menghembuskan nafasnya lelah lalu melanjutkan, "katanya gini ; Ka, saya mau nyuruh kamu. Tolong, awasin gadis saya jika saya sedang sibuk, ya. "
Asta merona mendengarnya, lalu menunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Namun, Eka sudah menangkap jelas rona itu, kemudian tersenyum.
"Bukan itu doang loh." Asta mendongakan kepalanya, merasa begitu penasaran dengan yang akan Eka ucapkan selanjutnya. "Aza pernah datang ke rumah gue malem-malem, ganggu gue yang lagi tidur cuma mau ngomong gini ; Ka,saya frustasi. Saya sedang rindu Asta malam ini. Tidak bisa tidur."
Eka melirik Asta yang sedang tersenyum malu-malu. Manis, pantas saja Aza menyukainya.
"Aza juga pernah bilang ; duh, rasanya mau mati sekali. Kenapa Asta pandai sekali sih mengambil hati saya, Ka?. "
Asta tidak tahu semerah apa sekarang pipinya.
Aza memang cowok aneh dan unik. Aza mempunyai sikap yang sangat unik ketika menyampaikan sesuatu. Entahlah, baru kali ini ia menemukan lelaki seperti itu.***
"Jaketnya lupa di bawa kemarin."
Asta menyodorkan paper bag yang berisi jaket Aza kepada pemiliknya.
Setelah mendengarkan cerita Eka soal Aza yang membuatnya merona itu, Asta memutuskan pergi dan mencari Aza. Takut semakin merona jika masih berada disitu mendengarkan Eka bercerita walaupun awalnya ia yang meminta."Terimakasih sudah membawanya."
Sekarang, Asta dan Aza sedang berada di lapangan indoor sekolah, duduk berdampingan.
Rasanya canggung sekali. Asta sekarang bingung untuk membuka topik pembicaraan, sedangkan Aza tetap sama, memandang lurus kedepan dengan muka tanpa ekspresi adalanya.
Menghembuskan nafasnya lelah lalu berniat berdiri untuk pergi karena merasa ingin kabur saja karena suasana canggung ini, namun urung ketika suara berat Aza mengintrupsi, "disini saja dulu."
"Kenapa?"
"Masih ingin lihat kamu."
Ya ampun.
Bisa tidak berhenti dahulu. Baru beberapa menit yang lalu Asta merona dan sekarang di buat merona lagi?Mengatur nafasnya untuk menetralkan detak jantung yang juga menggila akibat ucapan Aza.
"Aza.." panggilnya.
"Iya?"
Tersenyum ke arah Aza kemudian berbicara, "aku pergi ke kelas dulu ya, kamu juga."
Setelah mengucapkan itu Asta bangkit kemudian berlari keluar lapangan dan menuju kelasnya, meninggalkan Aza yang sedang bahagia karena Asta menggunakan 'aku' dan 'kamu' sekarang.
***
Setelah makan malam bersama, Asta memutuskan menonton film di kamarnya dengan ditemani banyak cemilan.
Ketika sedang fokus dengan film yang sedang di tontonya, ponsel Asta berbunyi dan ia menutuskan mengeceknya.Sebuah pesan, yang isinya;
+217615xxxxx : Saya bingung, sebenarnya saya ini kenapa sih? Kok setiap malam selalu memikirkan kamu terus.
Astaga!
Ini pesan dari Aza?
Jadi, Aza meminta nomer ponselnya melalui siswa lain waktu itu hanya untuk memberitahu soal ini? Ya ampun, Asta sudah lelah merona terus hari ini.
Mengapa lelaki itu begitu unik sekali.Asta memutuskan untuk menyimpan dahulu nomer telepon Aza kemudian membalas pesan itu lalu setelahnya melanjutkan menonton film, sambil sesekali milirik ke arah ponsel menunggu pesan balasan dari Aza.
Namun, sampai film yang Asta tonton selesai pun Aza belum membalas pesannya.
Menghela nafas kecewa kemudian melirik jam di atas nakas yang sudah menunjukan pukul 11 malam, Asta memutuskan tidur.Setelah Asta sudah lelap dengan tidurnya, ponselnya kembali berbunyi, menandakan ada pesan masuk.
Reaza Fauzan : Selamat tidur, gadisku.
TBC.
Oke tau ini pendek wkwk..
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Boy
Teen FictionMelihat kehidupan orang tuanya, Asta memilih untuk tidak jatuh cinta. Dirinya lebih memilih menjadi saksi cinta orang lain, yang menurutnya mirip sekali dengan novel yang selalu di bacanya. Disaat Asta sudah terlampau nyaman dengan caranya, takdir m...