Part 4. Life lessons? Seriously?

46 6 3
                                    

---🍋🍋🍋---

Rain menuruni tangga sembari mengucir satu rambutnya membentuk ekor kuda. Dapat dia lihat para penghuni rumah sudah berkumpul di meja makan.

Matanya melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 7 malam. Aturan keluarga mereka yaitu mengharuskan semua anggota keluarga untuk makan malam bersama.

And fuck that rules.Dirinya sangat malas untuk menghabiskan makan malam bersama. Alasannya simpel, dia tidak bisa makan dengan porsi sedikit karena selalu ditambah oleh sang mama. Dan ketika dia hendak protes, tatapan tajam papanya membuat niat itu runtuh seketika. Bukan dirinya lebay atau sebagainya, hanya saja dia terlalu malas melakukan workout untuk sekedar membakar lemak yang membandel.

"Hai darl, how is your day?" Ujar mamanya sambil mengecup pipinya sekilas.

Rain mengulas senyum tipis, "Good."

"Kamu ini good mulu jawabnya tiap ditanya. Gak ada kosa kata lain ya." Rain tertawa pelan mendengar gerutuan nyonya rumah.

"Besok kakak pulang. Kamu mau ikut jemput ke bandara?" Tukas mama lagi.

Tawa Rain berganti menjadi seutas senyuman tipis. Dia menggeleng pelan merespond ajakan sang mama.

"Gak deh ma. Aku ada eskul besok sore."

"Okeede kalo gitu biar mama sendiri." Kemudian wanita yang masih cantik di usianya yang sudah berkepala 4 itu mulai menyedokkan nasi ke piring suaminya.

"Papa dengar dari rapat komite, pekan ini bakalan seleksi osn? Kamu ambil kimia kan?"

Rain menolehkan wajahnya ke samping, "Rain gak ikut pa. Sekarang Rain lagi fokus poster sama kriya," jawabnya berusaha tenang. Dapat dia rasakan kalau sekarang pria itu menatapnya tajam.

"Kenapa malah gak ikut? Papa kan udah bilang kamu ikut osn kimia dapetin sertifikatnya biar lolos jalur undangan FK UI. Kenapa malah pilih poster gak jelas itu. Mau lanjut mana kamu sama piagam poster gitu." Nada bicara papanya naik setingkat membuat kepala Rain menunduk menatap lasagna di piringnya.

"Tapi Rain gak mau jadi dokter pa. Rain punya cita-cita sendiri. Rain pengen jadi desainer terkenal bukan jadi dokter kayak yang papa bilang."

"Papa gak setuju. Desainer itu gak menjamin hidup kamu Rain. Mending dokter kayak kakak kamu lebih terjamin masa depannya."

"Rain bukan kakak pa! Yang punya masa depan bukan cuma dokter aja." Serunya marah. Dia lantas menelan bulat-bulat makanannya dan segera beranjak pergi menuju kamar.

"Rain berhenti. Papa belum selesai bicara."

Rain tidak peduli. Dia tetap meneruskan langkahnya. Dia seolah menutup telinga akan perintah tersebut.

"Rain comeback. Be a nice girl." Rain berhenti. Suara tegas itu berasal dari mamanya. Menghembuskan nafas pelan, dia berbalik dan melangkah kembali ke meja makan meja makan dengan lunglai.

Duduk diam di tempatnya semula, dia menunduk sambil menunggu papanya berbicara.

"Oke. Papa setuju kamu ambil desain, dengan syarat papa lepas tangan sama kamu." Rain kontan mendongak menatap sang papa.

"Maksud papa?"

"Kamu biayain kuliah kamu sendiri dan papa gak ikut andil dalam hal itu. Terserah mau cari beasiswa atau kamu bisa kuliah sambil kerja." Terkekeh pelan, Rain menatap tak percaya pada sang papa.

Ini apalagi ya Tuhan, papanya bercandakah? Dirinya bahkan belum genap 18 tahun dan harus mencari uang untuk membayar uang kuliah yang nominalnya tidak sedikit. Belum lagi dengan peralatan serta kebutuhan kuliah lainnya yang pastinya tidak akan cukup jika hanya mengandalkan beasiswa. Dan bekerja? Are you kidding me? Dia sungguh tak bisa membayangkan betapa letihnya untuk membagi waktu antara bekerja dengan tugas kuliah yang menumpul. Ditambah jika dia nanti aktif ikut organisasi. Oh God. Papanya sangat keterlaluan.

"Papa mau nelantarin aku?" Rain menatap dalam pada manik coklat papanya.

Pria paruh baya itu tersenyum, " No Rain. This is life lesson. Selalu ada risiko atas apa yang kamu pilih.

Rain tersenyum sinis, " Ok. Let me show you then." Menatap berani pada papanya sebelum berlari menuju undakan tangga.

To be Continoeud
__________________
Like & Comment

ARainaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang