Haruskah terus bersabar?

9.2K 410 5
                                    

Tidak seperti biasnya, kali ini Khoirul telat pulang kerumah. Sudah hampir jam sepuluh malam, tapi suaminya itu masih belum datang juga. Gina beberapa kali melihat ponselnya berharap ada kabar, tapi siasia saja. Rasanya enggan sekai ia menghubungi duluan, ia takut akan memngganggu pekerjaan suaminya.

Saat menunggu, Gina tertidur di sofa ruang tamu, ia terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah, menjaga anak bungsunya, dan belum lagi Mika yang kembali mengamuk tadi siang.

Khoirul pulang saat tengah malam, ia sangat keras mengetuk pintu, sehingga Ginapun terperanjat dari tidurnya.

Gina membukakan pintu dan melontarkan beberapa pertanyaan pada suaminya itu. "Mas kenapa pulangnya sangat malam? Kenapa tidak kabari aku, mas?" Tanyanya khawatir, itu adalah sikap wajar dari seorang istri. Sampai dia lupa posisinya dirumah hanya sebatas istri pengganti bagi Khoirul.

"Aku kerja lembur. Lagian siapa juga yang suruh nunggu" jawab Khoirul singkat lalu meninggalkan Gina yang masih tidak habis pikir dengan jawaban itu.

Sudah tidak tahan rasanya ia dengan semua ini. Haruskah ia sabar terus menerus, apakah kesabarannya ini akan melatihnya semakin kuat, atau malah kesabarannya ini perlahan akan membuat hatinya tak berbentuk lagi.

"Mas tunggu?" Ucap Gina sehingga Khoirul mengehntikan langkahnya.

"Mas kenapa si mas?" Tanya Gina kemudian.

"Maksud kamu?"

"Aku tahu kehadiran ku dalam hidup mas itu bukan keinginan mas, tapi apa mas harus bersikap seperti ini? Apakan mas selamanya tidak akan menganggap kehadrinku ini?" Gina menghela napas panjang "mas apa sebenarnya yang jadi permasalahannya? jika mas masih belum siap kehilangan bak Nita, aku sangat mengerti itu. Tapi jika maslah mas ada di aku, mas terganggu dengan kehadiranku, maka aku akan bersedia meninggalkan mas." Jelasnya. Sangat kentara di wajahnya, bahwa dia tengah menahan airmata yang telah memenuhi pelupuk matanya.

Khoirul menarik nafas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tidak akan menyakiti hati Gina. "Maafkan aku jika selama ini sikapku membebanimu. Jika dengan meninggalkanku adalah keputusanmu, dan itu adalah yang terbaik untukmu, maka lakukanlah, Gin." Untuk pertama kalinya Khoirul manatap mata Gina, sangat teduh tapi terasa tanpa arti. "Aku tidak akan memaksamu untuk bertahan dalam hubungan ini."

"Apa mas? Kamu bilang aku terpaksa dalam hubungan ini? Aku sama sekali tidak terpaksa, mas. Aku... aku rido dengan apapun yang telah menjadi ketentuan Allah." Ucapnya terbata-bata.

"Aku tahu kamu belum bisa mencintai aku Gin"

"Kamu terlalu so tahu tentang hati orang lain, mas. Kamu harus  tahu, dari sejak pertama kali kamu mengucapkan ijab kabul di depan ayahku, dari sejak itu pula aku telah menyerahkan hatiku sepenuhnya untukmu, mas. Walaupun dulu bak Nita masih hidup." Nafasnya muali tak karuan " Kamu tahu betapa cemburunya saat aku mendapati kamu tidur terlelap dengan memeluk erat foto bak Nita di ruang kerjamu, dan betapa cemburunya aku saat melihat hanay foto bak Nita yang terpajang di dompetmu." Air matanya sudah tidak terbendung lagi, bebrapa kali tangannya mencoba menghapus sudut matanya "Jadi sebenarnya yang terbebani dengan hubungan ini itu siap? Aku atu kamu?" Gina mengungkapkan semua yang mengganjal dalam hatinya.

"Kamu salah faham gin." Bentah Khoirul.

"Tidak, Mas. Aku mengerti sekarang. Jika kamu memang merasa berat atau bahkan terganggu dengan hubungan ini. Maka aku siap menerima apapun yang akan menjadi keputusanmu, Mas."

"Tapi, Gin..."

Belum sempat Khoirul meneruskan ucapnnya, Gina langsung pergi meninggalkannya. Dia masuk ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat, ia menangis semalam, ia meminta yang terabik pada Sang Maha Kuasa, ia siap dengan apapum yang akan terjadi dengan pernikahannya.
Keesokan paginya, Gina meninggalkan rumah itu sebelum Khoirul bangun. Ia hanya menyiapkan bekal untuk Mika dan beberapa botol susu di kulkas untuk si kecil Akbar.

Sang PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang