Hari Pertunangan

6.1K 251 22
                                    


Malam ini, Gina kembali melakukan shalat istikharah. Dia meminta petunjuk kepada Rab nya tentang takdir terbaik yang digariskan untuknya. Mengapa kemarin-kemarin dia yakin akan keputusannya menerima Ramlan, tetapi sekarang keyakinan itu kembali melemah.

Mungkinkah itu semua karena Khoirul yang kembali mengusik hidupnya? Atau karena perasaannya belum benar-benar hilang?

Dia menangis tersedu-sedu diatasi sejadahnya. Besok adalah hari Pertunangannya dengan Ramlan, lelaki yang dipilihnya.

"Ya Allah Ya Tuhanku, engkau adalah pemilik rencana terbaik, Maha Mengetahui takdir terbaik untuk hamba-Nya. Jika memang benar Ramlan adalah lelaki yang terbaik menurut kehendak-Mu, maka yakinkan hatiku kepadanya. Jangan biarkan hati ini terus terjerumus pada perasaan dan luka lama." Lirihnya.

***

Matahari pagi bersinar lembut. Kursi-kursi telah berjejer rapih dihalaman rumahnya. Bunga-bunga ditata sedemikian rupa sehingga terlihat sangat indah.

Di depan, terlihat panggung sederhana yang dipenuhi hiasan-hiasan dan tulisan bertuliskan "Gina dan Ramlan". Tak terbayangkan rasa bahagia yang dirasakan wanita yang akan disematkan cincin di jari manisnya tersebut.

Tetapi kebahagiaan itu tidak dirasakan oleh Gina. Melihat semua persiapan telah selesai, hatinya semakin gelisah.

Muncul pikiran-pikiran aneh dalam pikirannya. Mungkinkah dia harus menunda dulu pertunangan ini? Tapi bagaimana dengan Ramlan dan keluarganya? Mungkinkah mereka akan kecewa? Atau bahkan, mereka akan membencinya?

Lalu, bagaimana dengan ibu dan ayahnya? Mereka juga pasti kecewa, bukan?

Gina kembali mengangkat tangannya dan menengadahkan wajahnya ke langit.

"Ya Allah, semoga keputusanku ini adalah yang terbaik menurutku dan menurut-Mu. Semoga aku diberikan kemudahan dalam menjalani keputusan yang telah aku buat."

Setelah itu, hatinya sedikit lega. Dia sekarang yakin, apa yang memang ditakdirkan untuknya, pasti tidak akan sedikit pun melewatkannya. Begitupun perihal pendamping hidup.

***
Keluarga dan teman dekat kedua belah pihak telah menduduki kursi yang telah disediakan. Wajah mereka terlihat berseri-seri.

Begitupun dengan Ramlan. Dia sangat tampan memakai peci dan jas hitamnya. Mungkin melihat penampilannya saat ini, sebagian orang akan menyangka bahwa dia akan menikah hari ini juga. Namun kelopak matanya terlihat lebih gelap dari biasanya.

Mungkin memang begitu, saking bahagianya menghadapi pertunangan dengan perempuan yang amat dia cintai, ginjal beberapa hari ini Ramlan terkena insomnia akut. Terbayang sudah wajah Gina saat tersenyum. Terbayang juga detik-detik ibunya memasangkan cincin yang dia pilih sendiri, di jari manis Gina.

Saat memilih cincin itu, ada perasaan yang ganjil. Ia merasakan perasaan bahagia yang lain dari biasanya. Apalagi nanti, saat dia mempersiapkan pernikahannya. Memilih baju yang akan mereka berdua kenakan. Memilih surat undangan. Mendata orang-orang yang akan mereka undang pada hari bahagia itu. Mencetak foto berlatar biru. Dan pokonya persiapan-persiapan lainnya.

Ramlan merasakan bahagia. Sungguh bahagia.

Tetapi di sudut hati yang lain. Ada perasaan gelisah. Gina berjalan perlahan keluar bergandengan dengan ibunya. Matanya terus melihat-lihat sekitar, entah siapa yang sedang ia cari. Ramlan kah? Atau orang lain?

"Siapa yang kamu cari?" Tanya Sarah saat melihat tingkah laku putrinya itu.

"Oohh... Anu... Aku cari teman-temanku, Bu." Ucap Gina gugup.

Gina terlihat sangat berbeda saat ini. Walaupun wajahnya tidak memancarkan kebahagiaan. Tetapi dia terlihat sangat cantik dengan gaun berwarna biru mudanya.

Hati Ramlan kembali berdetak hebat. Telapak tangannya mulai dingin, dan kakinya pun mulai bergetar. Grogi yang dia rasakan saat ini seperti 10 kali lipat dari grogi sebelum Gina datang.

***

Gina duduk termenung di depan cermin. Memandang pantulan dirinya. Benarkan sekarang dia telah bertunangan? Benarkah dia akan segera menikah? Akankah pernikahannya kali ini mampu melahirkan bahagia? Entahlah. Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan dalam pikirannya.

Perlahan dia mengakat tangannya dan menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Sangat cocok. Lalu dia menyentuh dadanya.

"Apakah semua orang yang bertunangan merasakan apa yang aku rasakan?" Gina seolah-olah bertanya pada dirinya yang sedang berada dalam cermin. "Apakah seperti ini kebahagiaan yang orang rasakan?"

Air mata perlahan membasahi pipi putihnya. Entah menangis bahagia atau sebaliknya.

"Apakah aku mencintai Ramlan?" Akhirnya pertanyaan yang selalu menganggu pikirannya terucapkan. Walaupun dia hanya bertanya pada dirinya sendiri.

"Assalamu'alaikum." Seseorang tiba-tiba masuk ke kamarnya.

"Wa'alaikumussalam." Gina melihat kearah sumber suara, "Mika?"

"Iya, ini aku." Jawab Mika dengan tersenyum. "Maaf karena terlambat datang." Lanjutnya.

"Tidak apa-apa, sayang. Mamah bersyukur sekali bisa melihat kamu."

Kegelisahan yang di rasakan Gina sedikit terlupakan karena kedatangan Mika. Dia merasa nyaman setiap kali berdekatan dengan anak satu ini. Apalagi ketika melihat senyunya, itu selalu mengingatkannya pada...

Setelah menyadari apa yang sedang dia pikirkan, dia langsung beristighfar dalam hatinya. Tidak sepantasnya dia berpikiran seperti itu.

***

Hari ini langit terlihat sangat cerah, secerah hati Ramlan. Betapa tidak, dia sedang duduk berhadapan dengan wanita yang aman dicintainya. Mereka baru selesai mengurus persyaratan pernikahannya ke KUA (Kantor Urusan Agama).

"Kamu mau makan apa, Gin?" Tanya Ramlan yang berusaha memecahkan keheningan.

"Emmm.." Gina meraih daftar menu di depannya. "Nasi uduk sama ayam bakar aja,..." Dia terlihat sedikit berpikir.

"Kamu bisa panggil nama aja langsung boleh. Atau Ram, atau Lan. Atau mas, akang juga boleh." Ramlan nyengir tanpa dosa kearah Gina.

Melihat tingkah aneh Ramlan, Gina hanya tersenyum. Dia tahu, umurnya sedikit diata Ramlan, dan itu sendikit membuatnya canggung.

Beda dengan Ramlan, yang beda... Setelah menyadari apa yang kembali melintas dalam pikirannya, Gina kembali beristighfar. Padahal saat ini, tunangannya sedang ada di depan mata, bisa-bisanya dia masih memikirkan orang lain. Pikirinya.

Saat mereka berdua sedang menunggu pesanan. Tiba-tiba...

"Gina?" Sapa Sinta.

"Mamah Sinta. Sedang apa disini?" Gina berdiri dari duduknya dan bersalaman dengan Sinta_ibunya Ramlan.

"Mamah mau beli makanan." Jawabnya.

"Mamah duduk bareng aja disini!"

"Engga perlu, mamah cuma pesen, ko. Nanti makannya di rumah, sama anak-anak.

"Oooh, begitu." Jawab Gina sedikit kecewa.

"Mamah!!!" Teriak Mika yang berlari kerah Gina.

"Hallo, sayang."

Mika berhambur kepelukan Gina. Memang anak satu ini, kadang terlihat dewasa, kadang juga lumrah seperti anak-anak lainnya, manja dan ceria.

"Kamu mau tunggu disini atau iku oma pesan makanan?" Tanya Sinta pada cucunya itu.

"Disini aja, oma."

"Baiklah."

Mika bercerita banyak hal pada ibu sambungnya itu. Maksudnya, mantan ibu sambungnya. Hingga Gina lupa ada sosok yang menatapnya kagum. Seseorang yang terus memupuk rasa cinta kepadanya.

Melihat sikap keibuan yang Gina miliki, Ramlan semakin yakin akan pilihannya. Betapa bahagianya jika kelak, sosok anak kecil itu adalah buah pernikahan mereka. Tanpa tersadar, perlahan senyum terukir di bibir Ramlan.

****

Terimakasih karena sudah membaca sampai sejauh ini. Walaupun updatenya tiga bulan sekali, bahkan lebih. Hehehe

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang