Bayang-bayang Masa Lalu

5.5K 257 18
                                    

Setelah mendengar kabar dari Ayah, Ramlan langsung  memberitahu keluarganya dan rencananya pertemuan keluarga mereka akan dilaksanakan dua minggu lagi.

"Kamu sungguh menerima lamaranku, Gin?" Tanya Ramlan malam itu ketika mereka sedang duduk di ruang keluarga bersama orang tua Gina.

Gina mengangguk tanpa menatap kearah Ramlan. Entah apa yang sedang dia pikirkan, ada sesuatu yang terus saja mengganggu pikirannya.

"Jika kamu masih trauma akan pernikahan sebelumnya, dan kamu ingin meminta waktu untuk pulih, aku akan ijinkan. Percayalah, aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar siap membuka lembaran baru denganku." Jelas Ramlan dengan harapan dapat meyakinkan Gina tentang keseriusannya.

Gina perlahan mengangkat wajahnya dan menatap kearah Ramlan, "Aku yang mestinya bertanya sama kamu. Apa yang membuatmu memilihku? Padahalkan kamu tahu sendiri aku itu janda, aku pernah gagal membangun rumah tangga."

"Itu tidak menjadi masalah untukku, Gin." Ramlan menghela nafas panjang, "Aku yakin, saat dulu kamu memilih berpisah dengan suamimu, itu bukan karena kesalahan yang kamu perbuat, bukan pula karena keinginanmu. Gin, percayalah, insyaallah aku yakin akan pilihanku ini."

***

Hari demi hari berlalu. Hari pertemuan keluarga mereka akan segera tiba.

"Apakah aku harus memberitahu ibunya Mas Khoirul, Bu?" Tanya Gina saat mereka sedang memasak untuk makan malam di dapur.

"Tentu saja, nak. Kamu tahu sendirikan, tidak ada yang namanya mantan mertua. Walaupun kamu sudah bercerai dengan suamimu, tetap saja ibunya tetep menjadi mertuamu, kamu harus tetep menghormatinya."

"Emang tidak akan apa-apa, Bu?"

"Insyaallah engga, nak" Sarah tersenyum kearah putri semata wayangnya itu.

"Aku takut Mika kecewa padaku, Bu." Ucapnya lirih.

"Bagaimanapun nanti reaksi Mika, kamu harus tetap memberitahu mereka."

Gina masih kepikiran permintaan Mika tempo lalu. Bagaimana kalau seandainya Mika kembali membencinya? Atau yang lebih parah, Mika tidak ingin bertemu lagi dengannya? Di sisi lain hatinya, bukan hanya tentang Mika yang membuatnya berpikir panjang, tetapi dia juga belum yakin akan perasaannya.

Gina awalnya berpikir bahwa itu semua mungkin karena trauma yang pernah dia alami. Tetapi, semakin kesini bayangan Khoirul sering mengganggu pikirannya. Memori masa lalu kembali berputar dengan jelas, tentang sikap Khoirul, perasaan sesaknya, dan janji dia pada Nita.

Disaat Gina bimbang dengan perasaannya, di sudut dunia yang lain ada Ramlan yang sedang asyik memandang deretan cincin di hadapannya. Telah lama dia menunggu moment ini, dia akan membeli cincin untuk wanita pujaannya, wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya dalam suka maupun duka.

Pikirannya menerawang jauh tentang kehidupannya di masa depan. Dia yang duduk berdampingan dengan sang istri tercinta dan memandang anak-anak mereka yang berlarian kesana kemari. Dia tersenyum sendiri membayangkan itu semua.

"Cincin untuk tunangan ya, Mas?" Tanya pelayan yang melihat Ramlan hanya berdiri dari tadi.

"Emmm... Iya bak." Ramlan tersenyum kearahnya.

"Mau model seperti apa, Mas?"

"Saya masih bingung si bak, soalnya saya belum tahu ukuran jari manis calon istri saya." Ramlan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Gak perlu bingung, Mas. Pilih pake hati, insyaallah pas." Pelayan itu meraih salah satu cincin dan menyodorkannya pada Ramlan, "Model ini bagus, keluaran baru." Jelasnya.

Setelah memilih cukup lama, Ramlan memilih cincin yang sederhana. Dia tahu sosok seperti apa calon istrinya. Gina adalah perempuan yang sederhana dan rendah hati. Dia tidak akan neko-neko, dan pasti selalu manut akan pilihannya.

"Semoga lancar sampai hari-H ya, Mas." Ucap pelayan saat Ramlan hendak keluar dari tokonya.

Hari yang sangat baik bagi Ramlan. Betapa tidak, sebentar lagi cincin yang dia bawa akan segera melingkar manis di jari Gina. Dia kembali tersenyum jika membayangkan itu semua.

***

Siang ini Gina mendatangi rumah Sinta untuk memberitahu tentang rencana pertunangannya. Dari tadi malam dia sampai susah tidur memikirkan kata apa yang akan jadi pembuka pembicaraannya kali ini, dia juga terbayang ekspresi Muka saat mengetahui ini semua.

Asisten rumah tangga di rumah Sinta mempersilahkan dia untuk menunggu di ruang tamu. Dia sangat terkejut ketika melihat foto pernikahannya dengan Khoirul saat di rumah sakit terpajang apik di dinding. Padahal dulu, dia tidak pernah mempunyai foto pernikahannya.

Disana terlihat tangan Khoirul yang menggenggam tangan ayahnyanya saat ijab kabul, dan dia sendiri terlihat sedang tertunduk. Seperti rekaman, perasaan yang dirasakan saat itu kembali dia rasakan, rasa sesak dan... entahlah, perasaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

"Apa kabar, sayang?" Sapa Sinta yang menyadarkan Gina dari lamunannya.

"Alhamdulillah, mah. Mamah sendiri apa kabar?" Gina menyalami tangan Sinta dengan penuh hormat.

"Alhamdulillah. Oh iya, Khoirul juga ada disini, dia sedang memperbaiki mesin cuci di belakang."

"O..oh.. i..ya, Mah." Jawab Gina gugup. Tiba-tiba jantungnya berdegup dengan sangat cepat.

Setelah kejadian saat Khoirul salah paham terhadapnya, dia tidak ingin lagi bertemu dengan lelaki itu.

Ada rasa sesak yang dirasakan Gina setiap kali mendengar atau bertemu dengan Khoirul. Entah itu rasa benci atau mungkin perasaan lain.

"Sebentar, biar Mamah panggil Khoirul dulu." Sinta berlalu meninggalkan Gina yang masih sibuk dengan fikirannya. Apakah dia urungkan saja niatnya untuk memberitahu rencana pertunangannya itu? Atau dia pura-pura ada acara mendesak dan pulang saja? Atau ini memang kesempatan untuk dia memberi tahu rencana pertunangannya di hadapan Khoirul? Siapa tahu Khoirul akan.....

"Astaghfirullah. Sebenarnya apa yang sedang aku pikirkan." Gina mengelus dadanya dan menghembuskan nafas panjang.

***************************

Aku tahu ini sangat lama. Mohon maaf untuk semuanya 🙏🙏

Tinggalkan jejak anda, yaaa ☺️☺️

Sang PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang