Permintaan yang Sama

6.8K 290 23
                                    

Gina duduk berhadapan dengan Khoirul. Jantungnya berdegup kencang. Kakinya terasa sangat lemas. Setiap memandang Khoirul, ada rasa yang tidak bisa dia jelaskan.

Khoirul hanya menjadi pendengar setia ketika Gina dan Sinta mengobrol.

Sinta menanyakan banyak hal padanya, dia juga mengatakan perubahan sikap Khoirul akhir-akhir ini.

"Sepertinya ada yang mulai membuka hati, nih." Ledek Sinta pada putaranya. Tanpa berniat meladeni candaan Sinta, Khoirul hanya tersenyum dan kembali mengalihkan pandangannya kearah lain.

Mendengar ucapan Sinta, dada Gina terasa semakin sesak, nafasnya tersekat. Apa maksud perkataan itu, batinnya.

"Oh iya, sampe lupa nanya keperluan kamu kesini." Ucap Sinta sambil menepuk dahinya. Memang sedari tadi dia terus saja bercerita banyak hal tanpa menanyakan maksud kedatangan Gina kerumahnya.

"Emmm... Aku ingin silaturahimi saja, sudah lama rasanya tidak bertemu." Ucap Gina ragu-ragu. Mulutnya hanya mampu mengatakan itu. Kalimat yang telah dia rangkai sebelumya hanya sampe di tenggorokan, tidak mampu terucapkan.

"Kebetulan sekali. Akhir-akhir ini rasanya sering sekali kepikiran kamu, dan sekarang kamu datang, jadi kerinduan mamah terobati sudah."

Gina hanya tersenyum mendengar itu. Dari dulu sampe sekarang sikap ibu mertuanya tetap sama, biak hati dan menyenangkan.

Gina ingat, saat dia masih menjadi istri Khoirul, mertuanya sering sekali mengunjunginya, menceritakan banyak hal, memberi tahu makanan favorit Khoirul, ya... walaupun akhirnya makanan tersebut tidak pernah di sentuh seumainya itu. Hati Gina selalu sakit ketika melihat makanan di meja makan yang selalu utuh.

"Sebentar, kenapa Bi Darmi lama sekali membawa minumannya." Sinta mendongak kearah dapur mencari keberadaan asisten rumah tangganya, "Biar mamah ambil sendiri saja minumannya, kamu pasti haus."

"Engga... " Sebelum Gina menyelesaikan kalimatnya, Sinta telah berlalu dari tempat duduknya dan meninggalkan mereka berdua dengan kecanggungannya.

Beberapa menit berlalu dan tidak ada percakapan diantara mereka berdua, hanya suara denting jam yang terdengar lebih nyaring dari biasanya, mungkin karena mereka merasa canggung, jadi keadaan terasa berbeda dari biasanya.

"Ba.. bagaimana kebar orang tua kamu, Gin?" Tanya Khoirul berusaha terlihat sebiasa mungkin.

"Hah?" Gina mengangkat wajahnya dan mendapati Khoirul yang tengah memandangnya. "Emm.. Ba.. baik, Mas." Jawabnya gugup. Lidahnya terasa sangat kaku sekali, dan telapak tangannya mulai terasa dingin.

"Alhamdulillah kalau mereka baik-baik saja. Kamu sendiri?"

Alis Gina terpaut, "Aku kenapa?" Tanyanya tanpa berpikir panjang.

"Maksudnya kabar kamu sendiri bagaimana?" Tanya Khoirul sambil tersenyum ketika melihat ekspresi wajah perempuan didepannya yang sangat terlihat salah tingkah.

"Oh.. Alhamdulillah baik juga, Mas." Gina kembali menundukkan kepalanya. Ia yakin bahwa pipinya pasti mulai merona akibat melihat senyu Khoirul Barusan. Ini kali pertama Khoirul tersenyum, dulu dia hanya tahu wajahnya yang datar saja.

"Alhamdulillah kalau gitu." Khoirul mengalihkan pandangannya kearah lain.

Ekspresi Khoirul terlihat sedang menimba-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Dia menarik nafas panjang dan kembali menatap kearah Gina yang masih tertunduk, "Aku mau minta maaf!." Akhirnya kata yang sedari dulu ingin diungkapkan, hari ini berhasil dia ucapkan.

"Emm, soal apa mas?" Tanya Gina heran.

"Soal... Emm... " Khoirul terlihat bingung memilih kata yang akan dia ucapkan. Banyak kesalahan yang dia lakukan pada Gina, dan sekarang dia tidak tahu harus minta maaf akan hal apa terlebih dahulu. Dia tahu, dulu sikapnya sangat jahat dan tidak adil.

"Oh, soal kejadian Akbar tempo lalu?" Tanya Gina berusaha menebak arah pembicaraan Khoirul.

"Emmm... Iya..." Khoirul mengangguk. "Iya aku ingin meminta maaf atas kesalah pahaman waktu itu, Akbar telah menceritakan semuanya. Dan selain itu, aku juga minta maaf tentang pernikahan kita." Jelasnya.

"Hah?" Alis Gina terpaut, "Sudahlah, Mas. Kamu tidak usah mengungkit soal pernikahan kita, aku sudah memaafkannya, kok. Lagipula dulu saat kamu memberikan surat perceraian dari pengadilan, kamu sudah meminta maaf lewat mamah Sinta, kan?"

"Hah? Mamah bilang maaf sama kamu?"

"Iya, kata mamah kamu sibuk, jadi gak bisa datang langsung." Gina menganta bahunya. Dia memang sudah memaafkan, tapi tidak untuk melupakan.

"Emmm... Iya..." Ucap Khoirul ragu.

Sebenarnya dulu dia terlalu pengecut untuk mendatangi Gina. Apalagi jika harus bertemu dengan mertuanya, dia merasa malu sekali atas perlakuan dia terhadap anak mereka. Khoirul tidak pernah benar-benar bebas dari rasa bersalahnya, selama beberapa tahun ini dia selalu di hantui rasa bersalah dan penyesalan.

"Kemarin-kemarin Mika sering berkunjung kerumah, ya?" Tanya Khoirul berusaha mencari topik pembicaraan lain.

"Iya, Mas."

"Dia gak ngomong aneh-aneh, kan?" Tanya Khoirul dan kembali tersenyum.

Melihat senyuman itu Gina hanya menggelengkan kepalanya dan kembali menundukkan pandangan. Setiap kali Khoirul tersenyum, diam-diam ada yang berdesir dalam relung hatinya, dan dia merasa itu perasaan yang sangat tidak pantas, apalagi mengingat bahwa sebentar lagi dia akan menikah dengan Ramlan.

"Apakah benar dia memintamu kembali menjadi ibu sambungnya?" Tanya Khoirul hati-hati.

Mendengar pertanyaannya itu tubuh Gina tiba-tiba terasa gemetar. Mengapa Khoirul tahu itu? Atau mungkinkah Mika menceritakan semuanya pada ayahnya? Berbagai pertanyaan mulai muncul dalam pikirannya.

"Kenapa kamu malah bengong, Gin?" Tanya Khoirul yang heran melihat ekspresi wajah perempuan di hadapannya yang tiba-tiba berubah.

"Iya, Mas. Mungkin itu karena Mika sekarang merasa dekat aja sama aku." Jawab Gina dengan berusaha mengontrol nada bicaranya agar terlihat biasa-biasa saja.

"Emmm..." Khoirul mengangguk-anggkuk dan melihat kearah foto pernikahan mereka, "tapi kalau seandainya aku pun mengharapkan hal yang sama dengan Mika, bagaimana?"

Tiba-tiba Gina tertegun. Perasaan heran, marah, dan gelisah tiba-tiba berkecamuk dalam jiwanya. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh lelaki itu? Bukankah dulu dia yang membiarkan dia pergi? Lalu mengapa sekarang dia berubah pikiran? Apakah dia...?

***

Disaat malam sangat hening. Bintang bertebaran di langit. Dan manusia kebanyakan sedang tenggelam dalam mimpinya. Ada seorang perempuan yang sedang menangis tersungkur di atas sajadahnya.

"Sebenarnya apa yang hatiku inginkan?" Lirihnya.

Mengapa disaat dia ingin membuka lembaran baru, tiba-tiba masa lalunya datang kembali menghantuinya? Mengapa Khoirul selalu bersikap seenaknya? Apakah dia tidak tahu apa yang telah Gina lalui untuk pulih? Bukankah dulu dia yang memberikan dirinya pergi untuk mencari kebahagiaan yang seutuhnya? Tetapi mengapa sekarang dia kembali mengusik kehidupannya?

"Ya Rabb, yang Maha Tahu hal terbaik untuk makhluk-Nya, semoga Ramlan adalah yang terbaik untukku, dan semoga hatiku dapat terbuka untuknya. Aku tidak sanggup jika harus terjerumus ke lubang yang sama, ada rasa sakit yang aku rasakan setiap kali melihat wajah mas Khoirul." Ucapnya dengan penuh pengharapan.

Gina sepenuhnya berserah diri akan ketentuan yang akan Allah tetapkan untuknya, semoga apapun yang terjadi itu adalah yang terbaik, dan dia akan segera menuju kebahagiaannya.

Tetapi, jika Gina mengharapkan Ramlan menjadi takdirnya, itu hanya akan membakar perasaannya. Dan dia pasti akan memilih itu daripada harus kembali kepada luka lama.

*************************************

Terlalu cepat updatenya, ya? 😅

Aku tahu gaya bahasanya masih kurang luwes. Tapi percayalah, ingin sekali mengungkapkan apa yang terlintas dalam pikiran, tapi susah. 😅

Sang PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang