Prolog

141 22 8
                                    

Rumah ini selalu dingin semenjak Aria mengingatnya. Rasanya sudah berabad-abad lalu rumah ini berisi dengan canda tawa dan kehangatan. Apalagi pada malam setelah hujan turun seperti ini. Bandung serasa diselimuti udara dingin yang mencekik. Belum lagi kabut tipis yang membubung di luar sana, bahkan Aria bisa merasakan kabut itu menempel pekat di kulitnya bagai lem.

Aria berdiri di ambang pintu kamarnya, kemudian melayangkan pandang ke sekeliling kamar yang baru saja dia rapikan. Kali ini, lebih teliti daripada biasanya. Bahkan tadi dia membersihkan sudut-sudut belakang pintu dan kolong lemari sampai tidak ada debu yang tersisa.

Seprai ranjangnya tanpa kerut. Meja kerjanya bebas dari noda cat, karena dia membersihkannya seharian. Kanvas-kanvas lukis dijajar di sudut ruangan, urut dari yang paling besar sampai yang paling kecil, beberapa masih belum selesai, kebanyakan lukisan-lukisan abstrak dari cat minyak yang berwarna-warni. Lampu jalanan menembus tirai jendela, terpantul di keramik yang sudah dipel.

Ini rumah yang sudah dia tinggali selama 24 tahun, dan sekarang dia akan meninggalkannya. Toh, tidak ada yang akan disesalinya. Dia akan lebih menyesal jika dia tidak meninggalkan rumah ini, meninggalkan-nya. Dadanya sesak seketika memikirkan dia.

Aria tahu pemuda itu tidak akan pergi ke mana-mana dari sisinya, apa pun yang Aria lakukan. Karena itu, Aria-lah yang harus pergi. Dia harus pergi agar pemuda itu bisa melanjutkan hidupnya dengan bebas dan leluasa. Aria tidak bisa memberitahunya dan harus pergi diam-diam, karena Aria tahu pemuda itu akan bertanya ini dan itu, mulai dari A sampai Z, dan Aria tahu dirinya tidak akan bisa menjawab, tidak dengan alasan yang masuk di akal.

Dia harus melakukan ini semua sendiri.

Namun kadang, Aria bertanya-tanya apakah ini sepadan.

Tentu saja.

Tentu saja sepadan.

Demi Tuhan, dia sudah membulatkan tekad tadi siang, tapi mengapa sekarang dia ragu begitu dia memikirkannya?

Aria menggenggam sebuah kertas berisikan sebuah alamat di Jogjakarta. Itu tujuannya sekarang. Tujuannya satu-satunya, dan dia tidak punya banyak waktu.

Mendesah panjang, Aria melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu sambil menenteng tas koper kecil dan sebuah kanvas kecil, bawaannya ala kadarnya. Ayahnya sedang tertidur di sofa ruang tamu, masih mengenakan kaus tua dan celana kolor panjang yang dulu sering dia pakai, celana dengan gambar emoji tersenyum. Ibunya mengejeknya kekanakkan, tapi pria itu berkata bahwa itu celana ternyaman yang dia punya. Aria bahkan ingat ada lubang di sisi celana itu.

Entah sejak kapan pria itu tidak lagi tidur di kamarnya. Bukan. Aria tahu kapan tepatnya itu di mulai. Mulanya hanya sehari di sofa, dengan tangisan teredam yang bisa Aria dengar ketika dia duduk bersila, bersandar pada kosen pintu kamarnya. Kemudian intensitasnya meningkat menjadi tiga kali seminggu, menjadi tujuh hari seminggu. Lambat tapi pasti, kamar itu jadi tak lagi terjamah, kecuali oleh Aria yang membersihkannya. Kadang, ayahnya akan berdiri di ambang pintu kamar itu, menatap ke dalam dengan pandangan kosong.

Kamar itu pasti penuh kenangan. Bagi mereka berdua, Aria dan ayahnya, mengenang adalah perkara yang menyakitkan.

Ayahnya berubah. Mereka berubah. Hubungan mereka berubah. Rumah ini berubah, dan Aria merasa tak akan ada lagi yang bisa mempersatukan mereka. Pipinya berdenyut, mungkin masih memerah karena tamparan tadi sore. Tamparan tanpa alasan, hanya karena ayahnya ingin saja menampar, disertai dengan kata-kata menusuk, "Kamu, nggak sepantasnya hidup."

Setelah bertahun-tahun—sembilan tahun, tepatnya—hidup bersama dengan orang yang mendiamkannya, menyindir saat mulutnya terbuka, dan menimpakan semua kesalahan atasnya, Aria rasa ini keputusan yang tepat. Ini akan menjadi sebuah awal baru baginya, juga mungkin bagi ayahnya. Paling tidak, pria itu tidak perlu melihat wajah yang dia benci ini di rumahnya lagi, kan?

Omong kosong mengenai waktu akan menyembuhkan luka itu hanya memberikan harapan palsu. Pada kenyataannya, waktu hanya membuat luka semakin membusuk dan dimakan belatung dari dalam. Dadanya perih saat melihat ayahnya tidur melingkar seperti janin, begitu rapuh.

Aria mengucapkan maaf dalam hati; karena dia akan pergi, dan atas apa yang sudah terjadi di antara mereka, yang tidak bisa dia perbaiki lagi.

Sudah waktunya untuk berhenti berusaha.

Gadis itu menyeret kopernya, membetulkan letak ransel, dan kemudian menaiki taksi yang sudah menunggu di depan rumah.

Ada hal lain, hal yang lebih penting ketimbang mencoba menyatukan tembikar bernama keluarga yang telah pecah ini.

Dia pun keluar, sebuah taksi menunggu di tengah kabut. Sopir taksi itu tersenyum melihat Aria, menanyakan namanya. Aria mengiakan sebelum berbalik, lalu menatap rumahnya sekali lagi untuk mengucapkan selamat tinggal.

Kabut semakin pekat.


========================


Telat sehari! Maaf ya teman-teman. What do you think about this Prologue?

Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengunggah naskah ini. Sebenarnya naskah ini sudah mengendap di dalam komputer selama beberapa bulan, dan sejujurnya, masih jauh banget dari sempurna. Karena itu, mohon masukannya ya!

Naskah ini akan diupdate setiap Jumat (kalau nggak ada halangan). 

The Future We RememberWhere stories live. Discover now