Bab 1

60 15 4
                                    

Ada yang mengamatinya, tapi Aria mencoba untuk mengabaikan.

Pendingin galeri seni tempat Aria bekerja berdengung rendah, menyemburkan angin sejuk, seolah berusaha untuk mengalahkan panasnya udara di luar sana. Sesekali terdengar suara lempeng logam yang bergetar karena beradu dengan mesin yang menderu, keratak-kerutuk, diiringi riuh rendah jalanan Malioboro. Pendingin itu harus diservis. Pasti ada baut yang terlepas di dalamnya, atau sesuatu yang lain. Sudah beberapa hari ini pendingin itu mengerang-erang seperti ini.

Aria yang baru saja menggantung sebuah lukisan di dinding, memandang melalui pintu kaca berbingkai kayu jati berat. Malioboro terlihat sangat panas, sinar matahari merongrongnya tanpa ampun.

Gadis itu melamun, merasa bersyukur sudah memiliki galeri ini, sudah memiliki hari-hari yang bisa dia ulang setiap harinya; bangun pagi, berangkat kerja, pulang, lalu mengerjakan lukisan asal-asalan yang disukai turis. Kadang, dia terlupa buat apa dia datang ke Jogja. Dia bersyukur karena dia lupa, karena jika ingat seperti sekarang ini, bulu kuduknya selalu meremang, perasaannya tidak enak seperti ada yang baru saja menghantam ulu hatinya. Lamunannya buyar saat tawa sepasang kekasih yang lewat terdengar menembus pintu kaca.

Setelah memastikan lukisan seorang penari Bali itu tertata dengan rapi dan tidak miring, Aria segera kembali ke balik kasir untuk mengambil lagi lukisan yang lain untuk dipajang.

Kemarin mereka sudah menjual beberapa lukisan, dan sekarang beberapa tempat di tembok-tembok itu kosong. Dia harus memajang lukisan yang lain. Kali ini, Aria mengambil lukisannya sendiri yang dia serahkan ke galeri ini beberapa hari yang lalu, lukisan terasiring sawah dengan pohon-pohon kelapa. Lukisan standard tanpa emosi. Lukisan yang mudah untuk dibuat, bahkan tanpa berpikir apa-apa karena sudah dia ulang-ulang belasan kali.

Saat Aria membawa kanvasnya ke dekat pintu masuk galeri, gadis itu lagi-lagi menyadari bahwa dia sedang diamati dari ujung ruangan oleh salah satu pengunjung, tapi Aria mengabaikannya.

Sekali lagi dia memandang keluar. Saking panasnya, dia bahkan bisa melihat fatamorgana dari tempatnya berdiri. Sebuah dokar lewat di depan galeri, sepasang turis asing berambut pirang tertawa-tawa, seorang pemuda tertawa di sebelah mereka, sepertinya sedang menceritakan hal yang lucu, mungkin pemandu turis tersebut.

Indah, kolega sekaligus tetangga sekaligus anak induk semangnya, sedang cengar-cengir memandangi Aria. Gadis itu mengibas-ngibaskan selembar brosur sebagai kipasnya.

"Dia memperhatikanmu," ujar Indah saat Aria berjalan ke arahnya setelah selesai memajang lukisan. Aria memandangnya dengan penuh tanya.

Gadis muda itu masih cengar-cengir, di ujung matanya ada seorang pemuda jangkung berambut hitam legam yang kemudian tersipu malu saat sadar bahwa Indah sedang memperhatikannya. Pemuda itu berpura-pura ada yang salah dengan ranselnya dan memperbaiki posisi tas tersebut di punggungnya. Aria segera mengalihkan pandangan dan mendesah kepada Indah.

"Jangan tidak sopan sama pelanggan," ujar Aria memperingatkan. Sejak gerombolan pemuda itu memasuki Galeri Sri Murni ini, mereka tidak habisnya memperhatikan Aria yang sedang bekerja. "Bagaimana kalau kamu bantu aku untuk mengeluarkan patung-patung kayu yang kemarin datang? Untuk dipajang di tengah ruangan."

Indah mengerang. "Kenapa harus sekarang? Kita baru saja sampai, bahkan keringatku belum kering." Gerakan kipas brosurnya semakin heboh, bahkan gadis itu mengangkat kedua lengannya untuk mengipasi ketiak. "Nih, lihat."

Aria tidak bisa tidak terkekeh melihat aksi gadis itu. Sungguh Aria tidak mau melihat ketiak Indah.

"Kalau nggak sekarang, kapan lagi. Ayo bangun dari dudukmu dan bantu aku. Atau paling tidak, tolong cetak label harganya. Daftar harga ada di dalam laci. Aku ambil dulu patung-patungnya. Kalau tidak kita selesaikan hari ini bisa-bisa Mbak Sri marah lagi."

The Future We RememberWhere stories live. Discover now