Bab 5.1

16 6 3
                                    

Saat bangun pagi harinya, Aria sempat bingung dia berada di mana. Butuh waktu sekitar beberapa detik untuk akhirnya dia sadar bahwa dia berada di studio lukisnya. Dia menghabiskan waktu semalaman untuk menyelesaikan lukisannya, dan kelelahan sampai ketiduran dengan meletakkan kepalanya di atas meja kerja.

Lukisan yang dia kerjakan kemarin malam berdiri menantang di tengah-tengah ruangan. Lukisan abstrak, dengan latar belakang berwarna gelap, dengan semburat merah darah dan beberapa warna lain yang tak kalah kelamnya.

Siapa yang mau membeli lukisan seperti ini?

Gadis itu mendesah, kemudian berdiri. Kepalanya masih pening karena tidak tidur dengan semestinya kemarin malam. Untung saja dia libur hari ini, jadi dia tidak perlu pergi ke galeri. Kedua pemilik galeri itu yang akan menjaga galeri hari ini.

Kadang, Aria merindukan waktu-waktu yang dia habiskan di sanggar untuk mengajar anak-anak menggambar dan melukis. Dia pernah mengajukan saran kepada Murni agar dia bisa membuat sebuah kelas melukis di sanggar, tapi Murni menentangnya.

"Tidak ada tempat," katanya waktu itu.

Dulu, ayahnya juga menentangnya saat dia ingin membuka kembali sanggar milik ibunya. Sanggar itu adalah kenangannya bersama ibunya, dan Aria ingin mempertahankannya setelah dia lulus kuliah.

"Mana kunci sanggar," tanpa basa basi, waktu itu Aria langsung bertanya kepada ayahnya.

Ayahnya yang baru pulang kerja, menatapnya dengan jijik seperti biasanya. Mulutnya naik sebelah, napasnya menderu, seolah dia sedang menahan dirinya untuk tidak menampar Aria. Namun Aria memberanikan diri.

"Aku ingin membuka sanggar itu lagi. Aku sudah lulus, dan—"

"Sudah lulus," dengus ayahnya. "Sudah lulus, terus kamu bertingkah seolah kamu berhak mengacak-acak tempat itu...."

"Mengacak-acak?" Aria bertanya tak percaya dengan jalan pikiran ayahnya. "Aku cuma ingin kenangan Ibu tetap hidup! Aku tidak—"

"TAPI DIA SUDAH MATI!" Ayahnya berteriak tanpa memandang Aria. Pria itu terlihat mencoba menenangkan dirinya, tapi kemudian dia membanting sendok dan garpunya di atas meja makan. Kemudian dia bergumam, "Jangan sebut-sebut dia lagi dengan mulut kotormu."

Akhirnya pria itu meninggalkan meja makan, mengurung diri di dalam kamarnya, meninggalkan Aria sendirian di ruang makan. Sup ayam dan nasi yang masih mengepul yang baru saja dia masak tidak disentuh oleh ayahnya sampai pagi.

Akhirnya Aria meminta bantuan tukang kunci untuk membuka kunci-kuncinya, menggantinya dengan yang baru tanpa sepengetahuan ayahnya. Itu sudah lebih dari setahun yang lalu. Demi Tuhan, waktu berlalu dengan sangat cepat. Sekarang dia merindukan sanggar itu, dia merindukan tawa anak-anak, dia merindukan riuh rendah para muridnya.

Dan dia juga merindukan Owen.

Mendesah kencang, Aria segera bangkit dari duduknya, menuju ke dapur untuk menjerang air panas, membuat kopi.

Hari ini dia masih harus mengerjakan beberapa desain yang diserahkan oleh sebuah penerbit kepadanya. Cover novel, yang bercerita tentang cinta segilima sekelompok muda-mudi. Aria berencana untuk mengerjakannya di depot Dion.

Mungkin itu bisa mengalihkan perhatiannya sejenak dari Owen.

The Future We RememberWhere stories live. Discover now