Bab 2.3

20 6 2
                                    

Takut-takut, Aria menceritakannya kepada sang ibu. Sang ibu yang ketakutan, mengira Aria berbohong, tapi dia tak bisa memungkiri, Aria pernah bercerita tentang teman sekelasnya yang meninggal terantuk undakan selasar. Jadi, mau tak mau wanita itu memercayainya.

"Di mana kamu melihatnya, Ri? Kamu masih sering mengalaminya?"

"Kapan?"

"Kamu lagi ngapain waktu itu?"

Berbagai pertanyaan diajukan oleh ibunya yang kalut dan Aria menjawab dengan takut-takut. Dia ikut bingung karena melihat ibunya yang jadi begitu gugup. Akhirnya mereka berhasil menyimpulkan dan bahkan bereksperimen. Ibunya membuka tirai jendela di siang hari sepulangnya Aria dari sekolah, meminta Aria memandang langit selama yang dia sanggup, dan kemudian dia akan menyentakkan tirai, membuat ruangan segelap mungkin. Ibunya akan menyuruh Aria untuk bercerita apa yang dia lihat.

Saat itu, ibunya sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa. Namun kemudian wanita itu merengkuh anaknya dan berkata bahwa Tuhan sudah memberikannya sebuah anugerah yang ajaib, yang harus digunakan dengan bijaksana, tapi mereka harus menyembunyikannya, menjadikan ini sebagai rahasia mereka berdua. Karena, "Siapa tahu apa yang akan dilakukan orang-orang di luar sana kalau sampai mereka tahu?"

Ibunyalah yang datang dengan sebuah ide bahwa mereka harus bisa mengontrol anugerah tersebut.

Mereka berdua sering berlatih dengan tirai dan mengintip masa depan, membedakan ingatan masa depan dengan ingatan masa lalu. Aria akan menceritakan apa yang dia lihat. Ibunya akan menuliskannya di buku catatan. Awalnya hanya sesuatu yang sederhana.

"Ayah pulang bawa durian!"

"Tante Dina di sebelah rumah protes karena talang air kita membeludak, kena rumah dia."

Ibunya akan bertanya, "Kapan?"

Aria tak bisa menjawab karena semua yang dia lihat adalah masa depan yang tak tentu kapan. Itulah alasan Aria sering mengecek kalender dan jam tangan. Ibunya menyuruhnya untuk membiasakan hal itu mulai sekarang; Selalu mengecek kalender dan jam tangan setiap kali ada kesempatan, atau ada kejadian yang dia anggap penting. Itu akan memudahkan dirinya di masa lalu untuk mengingat kapan kejadian tersebut terjadi andai kata Aria di masa lalu melihatnya. Ibunya bahkan membelikannya jam tangan digital dengan fitur kalender, dan itu membuat Aria senang. Saat itu, ayahnya heran dan tak setuju, "Apa gunanya jam secanggih itu untuk anak kecil?" katanya. Namun ibunya berkeras.

Aria sangat menyukai saat-saat mengintip masa depan bersama dengan ibunya. Sesudah semua tugas sekolah selesai, mereka akan duduk di dalam kamar, dengan buku catatan di pangkuan ibunya. Mereka menyibakkan tirai, kemudian menciptakan suasana gelap hanya untuk melihat apa yang akan terjadi. Aria akan bercerita, ibunya akan mencatat.

Mereka bahkan mencoba untuk sedikit mengubah masa depan, tapi semuanya kembali seperti bagaimana Aria melihatnya. Kadang dia ingin mengenakan pakaian yang lain, tapi ternyata tak ada lagi pakaian kecuali yang dia lihat dalam visinya karena hujan berkepanjangan. Kadang ibunya mencoba menyetir melalui jalan lain, tapi ternyata jalan itu ditutup karena ada pekerjaan umum. Yah, intinya Takdir selalu memiliki cara untuk memaksakan kehendaknya. Meskipun demikian, mereka bersenang-senang. Sikap ibunya terhadap anugerah Aria membuat gadis itu menerima dirinya apa adanya.

Namun, visi yang awalnya hanya kejadian sehari-hari itu makin lama semakin mengerikan. Aria mulai mendapatkan visi yang membuatnya takut, tentang keluarganya, juga tentang dirinya.

"Ayah meninggal."

"Aku menangis sendiri di sebuah rumah yang tidak kukenal."

"Aku sendirian, aku kesepian. Aku nggak mau melihat ini semua lagi!"

Saat itu ibunya merengkuh gadis itu dan tidak memaksa Aria lagi. Aria ketakutan selama berminggu-minggu. Ibunya merasa bersalah dan meminta maaf kepada Aria, dengan sesekali membisikkan bahwa dia akan selalu ada bagi gadis itu, bahwa dia akan selalu melindunginya.

"Ingat Aria, ini adalah anugerah. Kamu tahu kenapa ibu menulis semuanya dalam buku catatan? Supaya kita bisa melihatnya lagi dan mengantisipasi apa yang akan terjadi. Masa depan memang nggak bisa kita ubah, tapi sikap kita dalam menghadapinya bisa berubah, dan mungkin kita bisa menghadapi semuanya dengan sedikit lebih berlapang dada, dan ikhlas. Lagipula... yang terpenting bukanlah masa depan. Yang terpenting adalah saat ini, dan kamu harus belajar untuk mensyukurinya."

Waktu itu, Aria berumur sebelas tahun, tiga tahun berlalu sejak mereka mulai berlatih dan mencatat. Buku catatan itu sudah bertumpuk-tumpuk. Saat itulah ibunya berkata bahwa Aria sekarang bisa melakukannya sendiri; mencatat apa yang dia lihat.

Aria tak pernah memaksakan diri untuk mengintip masa depan. Saat dia memasuki ruangan gelap, dia membiarkan dirinya melihat, tapi dia tak pernah bermain dengan tirai lagi jika dia merasa tak ingin. Dia masih mencatat, dan dia mencoba untuk bersikap objektif dengan setiap visi yang dia lihat.

Namun, dia tak tahu bahwa buku catatan itu—

"Ri?" Dion membuyarkan lamunan Aria, dan buru-buru Aria mengerjap.

"Apa?"

"Ini enak banget! Coba, deh!" Indah yang duduk di sebelahnya segera berteriak begitu menggigit paha ayam bakarnya.

Aria menaikkan alisnya, dan kemudian mencoba rasa ayam bakar jahe itu sekali lagi. Rasanya tepat seperti yang dia ingat.

The Future We RememberWhere stories live. Discover now