04. take you home

1.6K 312 12
                                    

I can't hold you but I'm a man who has a large heart to protect you. I'll take you home.

-

Di dalam mobil, Re menyalakan radio. Wajahnya langsung mengkerut begitu mendengar cuap-cuap si penyair radio. Intinya, penyiar radio menyarankan pendengar untuk tidak galau walau cuaca sedang hujan. Katanya, lebih baik mendengarkan cuap-cuapnya atau makan mie rebus atau tidur di cuaca seperti ini.

"Apaan, sih." gerutunya.

Gue ketawa, masih fokus memegang kemudi. "Lo ganti aja channel-nya,"

"Nggak deh," sahut Re. "Ini katanya dia mau nyetel lagunya Lauv-Troye Sivan. Gua mau nanyi."

Tak lama kemudian, i'm so tired... terdengar di telinga. Re dengan cepat menyanyi dengan penuh minat.

"I'm so tired of love songs, tired of love songs, tired of love songs, tired of love. Just wanna go home, wanna go home, wanna go home~ whoaa~"

Gue tersenyum kecil. Tired of love. Harusnya memang gue menyerah dari dulu, ya?

"Eh," Gue melirik Re yang masih bernyanyi. "Ibu lo nggak akan marahin gue, kan?"

Re berhenti bernyanyi. Ia menolehkan kepala dan mengubah posisi agar bisa menghadap gue. "Nggak akan. Dia udah kenal lo." Re menghela napas, kemudian menyandarkan punggungnya. Ia berhenti bernyanyi, matanya melihat ke luar jendela. "Lagian, sebelumnya Ibu juga tau kalau gue lagi berantem. Mana Ibu bawa-bawa nama lo terus."

"Hah?"

"Enggak. Bukan apa-apa."

Gue terdiam lama. Sejujurnya, beberapa kali ibunya Re bilang, "Titip Re ya, Bayu." atau, "Tolong jaga Re ya, Bayu." Gue kira memang itu hanya basa-basi biasa. Tapi mendengar Re tadi, gue ngerti sekarang. Re dan ibunya memiliki pandangan yang berbeda soal gue.

Gue melirik Re yang selesai bernyanyi dan ia bertepuk tangan sendiri. "I'm tired of love! Pokoknya gue capek!"

Gue menghela napas. "Ya udah—"

"Bay, lo nggak mau punya pacar?"

Gue mengerem mendadak, sampai Re di sebelah gue menjerit. "Hati-hati, Bay!"

"Maaf, maaf," Gue menyengir dan kembali menginjak gas pelan-pelan. "Apa kata lo tadi?"

"Lo nggak mau punya pacar?"

Gue terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Re di sebelah kembali bersuara, "Gue baru nyadar kalau lo nggak pernah keliatan deket sama cewek. Eh, pernah, sama anak FH siapa tuh namanya? Gimana sama dia?"

"Baik," sahut gue pelan.

"Nah, kenapa nggak jadian sama dia?"

Gue terdiam. Sejujurnya, gue dan anak FH itu—nggak perlu gue sebut namanya, karena privasi hahaha—memang udah sampai yakin satu sama lain. Tapi di akhir ketika gue ingin mengajaknya pacaran atau apa itu sebutannya, gue ragu.

Apa benar dia orang yang tepat? Apa gue benar-benar suka sama dia? Apa benar gue suka sama pribadinya? Atau jangan-jangan, gue suka dia karena "melihat" orang lain di dalam pribadinya?

"Nggak apa-apa, gue nggak yakin aja,"

Re mengangguk. "Kenapa lo nggak cari pacar, Bay? Dengan kapasitas lo yang bagus itu, lo bisa milih pacar dengan gampang. Lo tunjuk aja, pasti dapet. Gue baru nyadar kalau lo hidupnya di organisasi dan rapat, kalau enggak ya kuliah."

Gue menghela napas. "Kalau punya pacar tinggal nunjuk aja," Gue melirik Re. "Kalau gitu, gue nunjuk lo buat jadi pacar gue. Mau?"

Re melotot dan meninju sebelah lengan gue. "Apaan!"

"Nah, gitu, Re," Gue terkekeh pelan. "Bagi gue, cari pacar nggak semudah itu. Lagian, orang yang gue suka nggak suka gue."

"HAH?" Re menjerit, kemudian memukul berkali-kali punggung gue. "Cerita ke gueee! Kenapa nggak pernah cerita, sih?"

"Sakit, Re,"

"Ih, kenapa lo nggak pernah cerita?"

"Sssttt, berisik," Gue mematikan radio dan memelankan laju mobil. "Udah sampai rumah, sana pulang."

Re mengerucutkan bibir. "Jahat banget lo nggak pernah cerita."

Gue ketawa pelan, kemudian mengacak-acak rambutnya. "Maaf, ya. Ayo keluar, nanti gue jelasin ke Ibu kenapa lo pulang telat."

Hurt RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang