07. ending scene

1.2K 241 7
                                        

I really hope you meet someone who will love you more than you do.

-

"Gue punya temen mau kenalan—"

"Enggak."

"Bener, Bay, nggak mau? Dia baik banget orangnya."

Gue menghela napas, kemudian melirik Re yang lagi terkekeh dan menunjukkan kedua jarinya. "Oke, nggak ganggu." katanya. Akhirnya gue kembali memperhatikan layar laptop dan mulai mengetik.

Gue dan Re sedang berada di perpustakaan. Aslinya gue bareng Fazrin, tapi Fazrin lagi keluar sebentar karena ada urusan. Entah gue memang harus ketemu Re atau apa, gue ketemu dia di perpus. Jadilah Re malah ikut duduk bareng gue, padahal seharusnya ia ikut teman-teman yang lainnya untuk pulang.

"Lo kenapa nggak ikut pulang?" tanya gue mengalihkan pandangan dari laptop dan menatap Re. "Nggak ada kuliah lagi, kan?"

"Males pulang," keluhnya.

"Males mulu."

Re ketawa. "Lo... pasti pernah kan tiba-tiba males ngapa-ngapain? Kayak blank aja gitu."

Gue terdiam, lantas mendorong laptop agak jauh. "Wanna tell me your story?"

Re mengerjap cepat, menggeleng. "Gue nggak apa-apa. Nggak usah peduliin gue udah, lo lanjut aja nulisnya."

Sayangnya, gue masih menatap Re, buat dia kembali menggelengkan kepala untuk meyakinkan gue. Tapi pada akhirnya gue mengangguk paham. "There's always something behind I'm okay, 'cause I know it right,"

Helaan napas keluar dari mulut gue. "Gue juga ngerasaan soalnya."

Re menatap gue lama. "Are you okay?"

"I'm okay."

"Ya udah, kita impas."

Gue ketawa dengarnya, kemudian menganggukkan kepala berkali-kali. "Yaaa, pokoknya kalau lo butuh temen cerita, gue siap dengerin."

Re ikut ketawa, sementara gue kembali menarik laptop dan bersiap-siap mengetik lagi.

"Bay,"

"Hmm?"

"Semoga lo ketemu orang yang baik."

Gue terdiam, gerakan jari gue berhenti. Gue nggak jadi ngetik, malah gue memperhatikan Re sekali lagi. Re tersenyum, matanya mencerminkan kejujuran atas apa yang dia ucapkan.

"Lo juga. Semoga lo bisa cepet move on, Re."

"Hahaha," Re ketawa dan mengangkat sebelah tangan. "Intinya, semangat terus ya buat kita?" Gue ikut ketawa dan menepuk tangannya pelan.

"Maaf, saya ganggu nggak ya?"

Gue dan Re otomatis menoleh ke sumber suara. Gue melihat Fazrin yang ternyata udah datang dan menarik kursi di sebelah gue.

"Enggak koook! Ini gue mau pulang," kata Re sambil berdiri dari duduknya. "Makasih ya Bay, Fazrin. Kita ketemu lagi kapan-kapan, oke?"

"Nggak perlu dianter, kan?" tanya gue.

"Enggaaak!" Re tersenyum, kemudian melambaikan tangannya beberapa kali. "Gue pulang, ya? Dah, Bayu, dah Fazrin!"

Gue mengangguk, mata gue mengikuti langkah kaki Re sampai dia nggak terlihat lagi karena memasuki lift. Dahi gue berkerut begitu menemukan Fazrin yang menatap gue dengan ekspresi yang nggak bisa gue tebak.

"Kenapa?"

"Lo sayang dia?"

"Hah?"

"Lo sayang dia, Bay?" ulang Fazrin. Gue bingung, tapi gue akhirnya mengangguk.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa lo sayang dia?"

Lagi. Entah berapa kali gue dapet pertanyaan itu, tapi tetap jawabannya sama. Nggak tau.

"Terus kenapa lo masih sayang? Kalian cuma temenan, kan?"

Gue ketawa karena heran aja, kenapa Fazrin mendadak berkomentar banyak soal keputusan gue ini. "Pelan-pelan. Gue usaha juga buat move on, tapi pelan-pelan. Lo percaya kan sama gue?"

Mata Fazrin menunjukkan kalau ada sesuatu yang masih menganggunya, tapi akhirnya dia cuma mengangkat bahu sekilas. "Gue kenal lo nggak sehari dua hari. Apa pun keputusan lo, semoga itu yang terbaik."

"Semoga." Gue tersenyum. "Lagian, ya, rasa sayang nggak terbatas sama status, jarak dan waktu kan?"

"Halah." Fazrin memutar bola matanya.

A/N: Halo, gimana kabar kalian? Semoga baik ya.

Semoga kita bisa move on dengan hal yang memang harus dilepaskan. Move on nggak melulu soal cinta, kan, ya. Jadi semoga kita bisa merelakan apa yang memang harus direlakan.

Hurt RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang