I know I said I'll be your friend, but it's too hard.
-
"Barusan gue kirim ulang proposalnya," Gue mengangguk begitu suara di ujung sana udah paham. "Nggak, abis ini gue mau lanjut baca buat besok,"
Gue menggangguk sekali lagi saat teman sekelas dan seorganisasi dengan gue itu izin undur diri. Angguk-angguk di telepon memang nggak guna—karena lawan bicara lo nggak akan bisa lihat gestur itu—tapi gue udah kebiasaan. Susah ilang.
Gue menaruh HP dan mengambil laptop, mencari-cari jurnal yang pernah gue download dulu.
Klik.
Klik.
Klik.
Sampai akhirnya gue berhasil menemukan jurnal yang gue maksud. Gue udah bersiap baca ketika secara bersamaan ada bunyi bel menginterupsi. Gue melirik jendela cepat. Hujan. Siapa yang malam-malam dan hujan begini ke apartemen gue? Gue mengernyit bingung, meskipun akhirnya gue tetep berdiri dan menuju pintu.
Gue mengintip keluar dan terlihat siapa yang ada di depan pintu apartemen. Rasa panik langsung muncul, buat gue dengan cepat gue membuka pintu.
Begitu pintu dibuka, gue kaget setengah mati karena teman gue yang satu ini penampilannya udah nggak bagus lagi. Bajunya basah kuyup. Mukanya keliatan capek. Badannya bergetar hebat. Gue segera melangkahkan kaki dan menghampirinya cepat, "Are you okay?"
Dia menggeleng cepat dengan kepala yang masih nunduk. Tangan gue di pundaknya ikut bergetar. Gue sedikit menahannya dan berhasil menekan sedikit getaran tubuhnya.
"Kenapa?"
Lagi-lagi, dia menggeleng. Gue menghela napas, kemudian mengajaknya masuk. "Masuk dulu, lo kedinginan,"
Tapi dia malah menggeleng. Gue menghela napas lagi. "Kenapa ke sini kalau nggak mau masuk?"
Menggeleng, menggeleng, menggeleng. Ia melakukannya berulang-ulang, bahkan kakinya menjejak kuat. Dia bertahan dengan posisi berdirinya, dengan tubuhnya yang bergetar kedinginan dan mukanya yang pucat.
"Lo mau apa sih?!" Gue membentak cukup keras. Bentakan itu berhasil membuatnya kaget dan mundur satu langkah. Matanya mengerjap cepat begitu gue membentaknya lagi.
"Lo ngapain ke sini kalau gue suruh masuk aja nggak mau?" kata gue cepat. "Kenapa nggak ke kosnya Mira aja kalau gitu? Atau Andin? Atau siapa aja temen lo yang lain?"
"Maaf..." bisiknya.
"Gue cuma mau bantu, gue nggak akan apa-apain, lo,"
"Bay..." suaranya semakin pelan. Getaran tubuhnya makin hebat dan lama-lama ia terisak. Ia menangis pelan, buat gue mengutuk diri sendiri.
"Maaf, Bay,"
"Bego," Tangan gue bergerak untuk meluk dia dan mengelus kepalanya pelan. "Gue yang harusnya minta maaf," kata gue. Setelahnya, tangisannya pecah dan gue bisa merasakan tubuhnya yang masih bergetar dalam pelukan gue.
"Maaf, Bay,"
"Sstt," Gue menepuk punggungnya pelan. "It's okay."
It's okay.
It's okay. I said I'll be there to the end.
But, sadly, it's too hard.
——
A/N: Tolong ya, there's so many things to do tapi kamu malah nulis ini dan hah apaan deh ini. :(
Maaf ya aku kalau nulis nggak bisa jauh-jauh dari yang galau-galau mulu. Huhu. Aku pusing dan ide ini muncul terus selama seminggu. Daripada makin pusing ya udah aku tulis aja.
Ok, see you soon!
(Character name by @sklokal on Twitter.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt Road
Фанфик"You knew and I knew, that this is not an easy road. It's not that you and I didn't know, that not many flowers bloom on this road."